Kiriman dari: Memet di Banjarmasin
Seperti kebiasaan setiap tahunnya, hari terakhir Opspek di Kampusku selalu di isi dengan hari ramah tamah antara Mahasiswa lama yang menjadi panitia Opspek dengan seluruh Mahasiswa baru. Tahun ini, pelaksanaan ramah tamah dilaksanakan di sebuah taman wisata pantai yang berjarak kurang lebih 60 Km dari Kampusku. Seperti biasa, beberapa orang panitia diutus untuk berangkat sehari sebelumnya ke lokasi untuk mempersiapkan beberapa hal terkait pelaksanaan hari ramah tamah antara Panitia dengan peserta Opspek. Sebagai ketua panitia Opspek, aku mengirim 4 orang panitia untuk melakukan survey lokasi dan persiapan untuk pelaksanaan kegiatan hari terakhir Opspek.
Salah seorang panitia yang aku kirim untuk melakukan survey lokasi, anggap saja namanya Budi, meminta izin untuk mengajak pacarnya serta dalam survey lokasi tersebut. Ia mungkin berpikir untuk mengambil kesempatan itu untuk sekalian mengajak pacarnya refreshing ke pantai. Dari pemikiran lain, mungkin saja pacarnya yang minta diajak ke pantai, karena itulah Budi minta izin kepadaku. Masalahnya bukan pada Budi atau pacarnya, tetapi niat Budi untuk mengajak pacarnya juga membuatku berpikir untuk mengambil kesempatan itu untuk juga mengajak pacarku rekreaasi ke pantai.
Dewi, adalah nama pacarku. Ia gadis cantik mahasiswa Fakultas Ekonomi di kampusku. Awal aku menjalin hubungan dengannya adalah juga dari moment Opspek yang dilaksanakan tahun lalu. Pada waktu itu, aku juga menjadi panitia –namun bukan ketua panitia seperti Opspek tahun ini–, dan dia waktu itu masih sebagai peserta, karena dia masih mahasiswa baru waktu itu.
Dari cara berpakaiannya, Dewi memang tidak terlalu seksi, namun lekuk-lekuk tubuhnya yang indah tidak bisa disembunyikan dengan jenis pakaian apapun yang dikenakannya. Buada dadanya yang kencang dan montok, pinggangnya yang ramping, serta ditopang oleh sepasang kaki yang indah, membuatnya selalu terlihat seksi di mataku. Namun sayangnya, aku belum pernah bisa menikmati hal terdalam dari kecantikannya itu. Hampir setahun ia menjadi pacarku, jangankan bercinta, mencium bibirnya pun belum pernah. Karena itulah aku berharap dia mau ku ajak ke pantai, mumpung Budi juga membawa pacarnya.
🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂
Pagi itu adalah pagi yang cerah, bertepatan dengan dimulainya acara Opspek di aula kampus, empat orang panitia –yang telah ku tetapkan untuk melakukan survey dan persiapan di lapangan untuk hari terakhir Opspek– berangkat dengan menggunakan motor mereka masing-masing. Meskipun aku tidak melihat Budi membawa pacarnya, aku masih berpikir, dengan mereka membawa motor masing-masing, sepertinya selain Budi, ketiga panitia yang lain juga bermaksud membaca pacar mereka juga. Jika itu benar, aku tidak akan mempermasalahkan, karena dewi, pacarku, juga mau ku ajak refreshing ke pantai. Hati yang bahagia dan berbunga-bunga, membuatku tidak sabar untuk melaksanakan sejuta rencana dalam pikiranku terhadap Dewi.
*****
Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan Opspek di Kampus, karena besok Opspek akan dilaksanakan di Pantai. Agenda acara formal juga berakhir hari ini, karena acara di pantai, hanya diisi dengan acara ramah tamah antara panitia dengan peserta. Pelaksanaan kegiatan Opspek hari inipun ditutup lebih cepat dari hari sebelumnya, karena panitia masih harus mempersiapkan banyak hal untuk keberangkatan besok, dari masalah transportasi, konsumsi, dokumentasi, hingga berbagai hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan di hari terakhir Opspek tersebut.
Jam di tanganku telah menunjukkan pukul 5 sore. Berbagai urusan untuk persiapan besok, telah aku percayakan kepada panitia yang lain untuk menyelesaikannya sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Ini saatnya aku menjemput Dewi untuk berangkat ke pantai sesuai dengan rencanaku sebelumnya. Tidak ada satu orang panitiapun yang ku beritahu tentang rencanaku mengajak Dewi menginap di pantai, termasuk Budi dan 3 temannya yang telah berangkat tadi pagi untuk persiapan kegiatan ramah tamah panitia dengan peserta Opspek besok. Aku bermaksud memberikan kejutan pada mereka. Jika mereka tidak bekerja dengan benar, mereka pasti akan terkejut dengan kehadiran ketua panitia mereka yang datang tiba-tiba. Selain itu, jika Budi dan teman-teman mereka bermaksud memanfaatkan moment itu dengan pacar mereka masing-masing, kehadiranku yang tidak disangka-sangka pastinya juga akan menghancurkan rencana mereka.
Saat aku tiba di depan rumah Dewi, ku lihat dia sudah siap dengan jaket, helm, dan ransel. Jadi, aku tidak perlu menunggu lebih lama. Kami langsung berangkat menuju ke pantai tempat kegiatan yang berjarak sekitar 60 Km dari sini. Sepanjang perjalanan hanya tawa dan canda yang ada. Sepertinya Dewi senang dengan ajakanku ini. Namun aku tidak tahu pasti, apakah dia senang karena bersamaku, atau senang karena di sana sudah ada cewek lain, pacar Budi, dan mungkin juga pacar teman-teman Budi lainnya, sehingga dia punya treman sejenis di sana… 😦
Setibanya di pintu gerbang lokasi taman wisata pantai tersebut, matahari telah tenggelam. Ku coba mengirim SMS kepada Budi untuk mendapatkan laporan tentang lokasi villa tempat mereka menginap malam ini, ku tanyakan juga tentang apa saja persiapan yang sudah mereka lakukan hari ini, agar mereka tidak curiga bahwa aku sudah berada di pantai. Tidak berapa lama, ku terima SMS dari Budi yang berisi laporan kegiatan mereka hari ini dan lokasi villa tempat mereka menginap malam ini. Dengan menerima SMS tersebut, aku langsung menuju lokasi villa sesuai dengan keterangan dalam SMS dari Budi tersebut.
Dari jauh, aku sudah melihat sebuah villa dengan lampu depan menyala dan di depannya terparkir 4 buah motor yang tentunya adalah milik Budi dan teman-temannya. Sejak memasuki halaman villa, motorku sudah ku matikan. Aku dan Dewi berjingkrak mendekati lokasi villa dengan hati-hati. Kebetulan waktu itu tak ada seorangpun di depan villa dan pintu depannya tertutup. Setelah ku parkirkan motorku di dekat motor mereka, ku menaiki tangga villa perlahan dan bisa ku dengarkan mereka sedang asyik bercanda dan tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi yang pasti, tawa lepas mereka terhenti ketika pintu depan villa ku ketok. Ku dengar langkah salah seorang dari mereka menuju pintu dan membuka pintu depan villa.
“Boss????” itulah ekspresi keterkejutan Dana –salah satu teman Budi yang juga kuutus ke pantai sehari sebelumnya– melihatku berada di depan villa. Mendengar itu, Budi, Rendy dan Yono juga bergegas menengok siapa yang telah mengejutkan Dana.
“Bang..!!??” Demikianlah ekspresi keterkejutan Budi CS. Panggilan Abang adalah panggilan sehari-hari mereka terhadap kakak angkatan. Melihat wajah keterkejutan mereka melihat ketua panitia sudah berada di depan pintu villa membuatku balik tertawa terbahak-bahak. Ku panggil Dewi yang masih berdiri di bawah depan motorku. Dewi pun beranjak dari tempatnya menaiki tangga menuju pelataran depan villa dimana kami semua berdiri. Kehadiran Dewi bersamaku, membuat Budi, Rendy, Yono dan Dana tidak bersuara apa-apa lagi. Mereka hanya saling bertatapan satu dengan yang lainnya.
“Pacar kamu jadi ikut kan, Bud?” demikian kalimat pertama yang ditanyakan Dewi pada Budi. Mendengar pertanyaan itu, Budi menarikku ke sudut lain di depan villa itu.
“Bang! Kenapa Dewi ikut?” tanya Budi.
“Kamu sendiri? Kenapa ngajak pacar kamu?” tanyaku balik pada Budi.
“Rena nggak jadi ikut, Bang!” jawab Budi mengabarkan bahwa Rena pacarnya tidak jadi ikut ke pantai. Jawaban Budi tentu saja mengejutkanku, karena salah satu hal yang ku jadikan alasan mengajak Dewi, adalah karena Budi juga mengajak pacarnya. Ku pandang Dewi yang terlihat bertanya-tanya tentang apa yang ku bicarakan dengan Budi. Tanpa harus memandang lebih lama, ku panggil dia.
“Wi..!! sini dulu deh, Sayang…!” mendengar panggilanku itu, Dewi mendekatiku, kemudian ku katakan padanya:
“Sayang! Abang minta maaf ya… Rena nggak jadi ikut…!”
“So…?” tanya Dewi singkat.
“Sorry, Wi..!! lu mungkin kecewa, tapi mo bilang apa!? Rena ga bisa ikut karena Pamannya masuk rumah sakit. Gue juga nggak lupa ngasih kabar sama Abang …!! Sorry banget ya Wi? Demikian Budi menjelaskan padaku dan Dewi tentang batalnya Rena pacarnya ikut ke Pantai.
“So…??” demikian Dewi kembali bertanya seolah meminta solusi. Aku dan Budi saling bertatapan. kemudian, ku tarik napas panjang dan ku coba untuk mencari solusi terbaik.
“Jadi…??? gimana dong, Wi?” tanyaku pada Dewi, berharap ia memberikan solusi terbaik. Karena hal yang kami permasalahkan pada dasarnya adalah karena Dewi satu-satunya cewek di villa ini, lantaran Rena tidak jadi ikut. dengan helm dan ransel yang masih menempel ditubuhnya, Dewi menatapku dan juga Budi yang merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas keadaan diluar rencana ini. Sesaat kemudian dia tersenyum dan melangkah menuju Rendy dan Yono –yang dari tadi hanya berdiri di depan pintu villa melihat ketegangan antara kami bertiga–, sambil mengatakan:
“Aku cape..!! mo mandi…” Demikian jawaban Dewi pada kami semua yang berada di pelataran villa. Dasar wanita susah ditebak. Kami tidak tahu, apakah jawabannya itu sebuah solusi, atau hanya ungkapan kejengkelan Dewi padaku atas keadaan ini. Tak seorangpun dari kami yang berani menanyakan maksudnya langsung pada Dewi, tetapi setidaknya itu sebuah solusi sementara saat ini. Bagaimana selanjutnya, kami belum tahu apa yang diinginkan Dewi. Kemudian, satu persatu kami semua masuk ke dalam villa peristirahatan yang telah disewa untuk menginap semalam tersebut.
Villa dengan nomor pintu 3 tersebut bukanlah villa mewah, tetapi pencahayaan dalam ruangan tersebut lumayan terang. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ruang depan yang berisi sebuah meja dan sepasang kursi yang terbuat dari rotan. Tetap di depannya ada sebuah pintu menuju kamar mandi sekaligus WC. Saat aku melihat-lihat ke ruang belakang yang hanya dibatasi oleh sekat kayu triplek, hanya ada 2 buah tempat tidur kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Di ajung ruangan ada beberapa buah ransel, mungkin itu milik Budi dan teman-temannya. Sementara ransel dan helm milik Dewi berada di atas tempat tidur yang berdempetan dengan dinding triplek pembatas antara ruang depan dan ruang belakang. Tetapi dimana Dewi?
Meskipun sempat kepikiran untuk mempertanyakan keberadaan dewi pada Budi dan kawan-kawannya yang sedang duduk-duduk santai di ruang depan, tetapi ku urungkan, karena pada saat aku kembali menuju ruang depan, ku dengan suara gemericik air di kamar mandi yang pastinya itu adalah Dewi, karena sejak di muka dia sudah mengungkapkan bahwa dia mau mandi. Kemudian, aku duduk bergabung dengan Budi dan teman-temannya di ruang depan.
Tidak berselang berapa saat, pintu kamar mandi terbuka, dan keluar sesosok tubuh wanita yang hanya dibalut oleh selembar handuk berwarna merah muda melangkah menuju kamar ruang belakang. Pemandangan yang jarang ku lihat itu telah mampu membuat aku dan 4 orang pria lain di ruangan tersebut terpana. Meskipun hanya berlangsung beberapa detik, tetapi pemandangan itu seperti rekaman slow motion pada sebuah video. Begitu singkat, namun juga begitu langka. Tak satupun diantara kami yang mengeluarkan komentar atau suara hingga beberapa detik pasca hilangnya Dewi dari pandangan mata. Keterpanaan kami justru dipecahkan oleh suara panggilan dari ruangan belakang.
“Bang!” Begitulah suara dewi yang sepertinya memanggilku.
“Ya!” Jawabku seraya beranjak dan memecahkan suasana terpana yang ada di ruang depan villa tersebut. Aku beranjak menuju kamar belakang. Ku lihat Dewi telah mengenakan celana Jeans panjang yang dipakainya diperjalanan tadi, tetapi kali ini, untuk menutupi tubuh undahnya, ia mengenakan t-shirt longgar.
“Ada apa?” tanyaku pada Dewi. Kemudian Dewi melemparkan handuk yang tadi dikenakan untuk membalut tubuhnya kepadaku, sambil berkata:
“Sana mandi dulu…!!”
“Oke deh!” jawabku sambil kembali melangkah ke ruangan depan menuju pintu kamar mandi. sementara itu, ku lihat Budi dan kawan-kawannya masih duduk santai sambil menikmati rokok dan sedikit minuman kaleng dan makanran ringan.
“Sudah mandi apa belum?” tanyaku saat membuka pintu kamar mandi sambil berbasa basi pada Budi dan kawan-kawanku yang lain.
“Kita sudah mandi tadi sore, Bang!” jawab Rendy mewakili teman-teman yang lain.
“Iya, Bang!” Abang mandi aja dulu… biar dewi kita yang jaga’in dulu!” Jawab Yono bercanda sambil tertawa dan diikuti oleh tawa Budi dan Rendy. Dengan sedikit senyuman dan mengacungkan jari tengahku pada mereka, ku tutup pintu kamar mandi.
Pada saat aku akan melepaskan seluruh pakaianku, aku melihat di lantai kamar mandi ada sebuah celana dalam dan bra berwarna putih. Ku pikir, kenapa dewi meninggalkan pakaian dalamnya begitu saja di lantai kamar mandi. Kemudian ku ambil pakaian dalam itu dan ku masukkan ke dalam sebuah ember yang ada di kamar mandi itu, kemudian ku lanjutkan kembali aktivitas mandiku meskipun dalam pikiranku, aku membayangkan Dewi mandi telanjang, menggosok-gosok seluruh bagian tubuhnya hingga bagian paling rahasia dalam dirinya. Saat aku mandi juga aku berpikir, rasanya sulit untuk mencari kesempatan menyentuh Dewi lebih dekat ke sisi-sisi terdalam dari tubuh indahnya, karena di villa ini juga ada 4 orang pria lain. Tetapi semua pencana dalam pikiranku itu langsung aku cuci dengan air di bak mandi dan ku bersihkan diriku dari debu di sepanjang perjalananku menuju villa pantai ini…. 😆
*******
Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. tetapi ku lihat Budi dan teman-temannya sudah tidak ada lagi. Akupun melangkah menuju ke kamar belakang dengan membawa pakaian yang belum ku kenakan, namun yang ada hanya Dewi yang sedang bermain dengan HPku di atas tempat tidur, mungkin lagi mencek SMS di inbox, siapa tahu ada SMS mencurigakan.
“Anak-anak dimana, Wi?” tanyaku pada Dewi yang mungkin tahu keberadaan mereka.
“katanya mo keluar dulu, nyari makan kke warung!” jawab Dewi sambil terus memandang ke layar HPku.
“Oooh begitu ya!” ungkapku sambil sedikit mengangguk. Ku lihat Dewi sangat asyik berbaring sambil memainkan ibu jarinya di keypad HPku, ia tidak sedikit pun menoleh padaku. Sementara aku ingin mengganti pakaian yang belum ku kenakan semenjak dari kamar mandi tadi.
“Sayang! keluar sebentar ya! Abang mo ganti pakaian dulu…”
“Ganti aja! apa susahnya!?” jawab Dewi cuek, tanpa sedikitpun merasa tidak enak padaku.
“Abang nggak enak, Sayang! Nanti punya Abang kelihatan.”
“Kalau nggak mau kelihatan, kenapa nggak ganti di kamar mandi aja? Kan enak tu, nggak ada yang lihat…”
“Kan lantainya basah, Sayang! Abang nggak bawa apa-apa. dari kampus hanya pakaian ini aja yang Abang bawa…”
“Ya sudah! Ganti di sini aja, apa susahnya???” Kali ini, ia melirikkan sedikit pandangannya kepadaku. Dalam diamku melihat sikapnya yang tidak pernah ke rasakan sebelumnya, tiba-tiba ia meletakkan HPku dan bangkit dari tempat tidurnya menuju ke arahku.
“Apa perlu Dewi yang memasangkan pakaian Abang?” demikian ungkapnya pada saat ia telah berdiri tepat di depanku. Darahku berdesir cepat dan jantungku berdetak menghantam dinding dadaku. Aku tidak pernah melihat sikap Dewi seperti ini selama setahun berpacaran dengannya. Ada sebuah pertanyaan di kepalaku, Apakah Dewi juga mengharapkan ini, sehingga dia mau ku ajak nginap di pantai ini?”
Dalam kebingunganku atas sikapnya, tiba-tiba Dewi mengambil pakaian yang tergantung di lenganku dan meletakkannya di atas tempat tidur. Sesaat kemudian, kedua tangannya menarik handuk yang terbalut di pinggangku. Tanpa mampu menahan perbuatannya terhadapku, kini ku telah kembali telanjang seperti di dalam kamar mandi, karena handuk yang menjadi satu-satunya kain yang menutup tubuhku telah dilepaskannya dari tubuhku. Dewi tertundung dan melihat ke arah penisku, dan sesaat kemudian ia mengalungkan lengannya ke leherku, sambil berkata:
“Abang nggak pingin mencium dewi, ya?” Aku terkejut dan terdiam mendengar ucapannya yang sungguh tak ku sangka-sangka. Aku terdiam beberapa saat, dalam kebingungan apa yang harus ku lakukan. Apakah ku harus menerima atau menolak tawarannya? Ciuman-ciuman kecil di bibirku pun seolah tak ku hiraukan, meskipun sebenarnya darah dan jantungku sudah bergerak cepat tak terkendali. Akhirnya dengan memberanikan diri, ku ikatkan lenganku di pinggangnya. dan ku jatuhkan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur. Ku lepaskan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhnya dan ku mandikan seluruh tubuhnya dengan lidahku, dari ujung kepala hingga ujung kaki telah basah dengan air liurku.
Ini pertama kali ku lihat tubuh indah Dewi secara utuh. Terbaring terkulai penuh birahi sehingga menambah gairah dalam diriku. Payudaranya memang benar-benar montok, bukan kencang karena BH yang digunakannya. Perutnya datar kecuali pada bagian bawah perutnya yang ditumbuhi bulu lebat itu, terlihat menggunduk, dan mencembung. Terlihat sangat lebat dan tak terawat, tetapi bagian itu juga mampu memaksa birahiku untuk mendekatinya dan menjilatinya sekali lagi. Ada sebuah kepuasan tersendiri saat memainkan lidahku pada bagian itu, terutama pada belahan rapat yang ada di bagian bawahnya.
Dewi begitu menikmati permainan lidahku di belahan vaginanya. Sepertinya inilah yang dia harapkan dari kesempatan bertamsya ke Pantai ini. Rupanya dibalik keanggunan penampilannya selama ini tersebunyi birahi yang tak tertumpahkan. Permainan cinta di kamar villa ini benar-benar menjadi hal yang terindah selama kebersamaanku dengan Dewi.
Sambil ku peluk tubuh indahnya, ku coba sedikit ngobrol dengan Dewi hanya sekedar mencari tahu apa isi dan perasaan di dalam hatinya? Ku tatap matanya sedalam-dalamnya. ku tempelkan dadaku di atas payudaranya yang montok, dan ku sandarkan batang penisku di selangkangannya. Matanya yang pada mulanya terpenjam, kini menatap balik bola mataku, seolah mencari tahu, ada apa di sana. Tak seberapa lama kemudian, dia tersenyum begitu manisnya… Ya Ampuuun, Dewi…!! kamu benar-benr cantik malam ini…” begitulah hatiku berteriak memuja keindahan kekasihku ini. Aku kemudian bangkit dari atas tubuhnya dan duduk di salah satu sisi tempat tidur dimana Dewi masih terlentang tanpa busana. Ku coba untuk mengajaknya bicara:
“Sayang..!”
“Mmmh…”
“Dewi pernah melakukan ini?” Dewi menggelengkan kepalanya sambil melempar senyum kepadaku. Kemudian ku tanya lagi tentang keperawanan. Dewi bukannya menjawab, ia hanya bangkit dari tempat tidurnya dan berdiri dan duduk dipankuanku sambil mengikatkan kedua lengannya di tubuhku, dan menyandarkan kepalanya di dadaku.
“Sayang!” panggilnya manja sambil meletakkan telapak tangannya di pipiku, menarikku untuk menatap wajahnya. Dia tersenyum kepadaku kemudian menarikku untuk menciumnya. Aku tak kuasa menolak keinginannya yang terucap tanpa kata. ku cium bibirnya, ku lumat dan sesekali ku masukkan lidahku tuk menyentuh ujung lidahnya. Posisi ini benar-benar sangat menggairahkan. Sesosok tubuh tanppa busana, duduk dipangkuanku seperti layaknya seorang bayi, namun aku bisa menikmati bibirnya sambil meremas-remas payudaranya. Hingga akhirnya pun ku sadari, dengan posisi ini aku juga bisa memainkan jariku di belahan vaginanya sambil terus menutup mulutnya dengan bibir dan lidahku. Sangat romantis sekaligus sangat seksi.
Saat jariku bermain di belahan vaginanya, Dewi secara reflek membuka selangkanganya, sehingga jariku lebih mudah bergerak di antara kedua pangkal pahanya. Tubuhnya sesekali mengejang saat ujung jariku menyentuh clitorisnya yang tersembunyi di antara bulu vagina yang lebat. Belahan vagina dewi terasa mulai banjir oleh cairan yang mengalir dari dalam lobang vaginanya. Hal ini membuatku ingin memasukkan jariku ke lobang kenikmatan yang berada pada bagian bawah belahan itu. Jariku mulai merayap menuju bagian bawah belahan vagina Dewi, tetapi baru saja jariku bermuara di lobang kecil itu, tiba-tiba tangan Dewi menampiknya dan ia melepaskan bibirku yang dari tadi mencium bibirnya. Dia menatapku beberapa saat lalu kemudian melemparkan sedikit senyum di bibirnya dan berkata:
“Sayang! Aku tidak ingin keperawananku diambil oleh jarimu…” setelah mengatakan itu, Dewi bangkit dari pelukanku kemudian ia duduk di sisi ranjang kecil itu. Ia kembali membalutkan tangan kirinya di leherku dan menarikku untuk mebali mencium bibirnya. sementara tangan kanannya bermain di belahan vaginanya. Dalam posisi berciuman sambil duduk berdampingan di sisi tempat tidur, memberiku kesempatan untuk kembali bisa meremas-remas payudaranya, meskipun hanya dengan salah satu dari tanganku, karena tangan satunya harus bertumpu ke tempat tidur untuk menahan beban tubuhku. Karena hanya kiriku yang bisa beraksi, jadi payudaranya ku remas secara bergantian.
Tidak berapa lama melakukan gaya tersebut, Dewi mulai menurunkan posisi tubuhnya dalam posisi masih berciuman. Akupun tidak melepaskan ciumanku di bibirnya dan remasan di payudaranya. Ku ikuti arah pergerakan tubuh Dewi yang semakin turun hingga akhirnya, ia kembali terbaring di tempat tidur dengan kaki masih berada di lantai. Kemudian ia menarik kakinya ke atas hingga lututnya menyentuh payudaranya. Sambil menghentikan ciumannya, ia berbisik padaku.
“Sayang! masukkan sekarang……” Permintaan dewi tersebut aku pahami dengan baik. Kenikmatan aroma birahi telah membuat Dewi melupakan resiko dari hubungan ini. Tetapi gejolak birahi tersebut bukan hanya menimpa Dewi. Aku pun terbuai oleh keinginan untuk menikmati lobang kenikmatan Dewi yang sejak awal hubunganku belum pernah ku sentuh. Aku bangkit dari posisiku dan berdiri di sisi tempat tidur dan mengarahkan batang penisku yang sudah sangat tegang ke belahan vagina yang terkangkang di sisi tempat tidur. Dalam posisi setengah berdiri, karena tempat tidur yang tidak begitu tinggi, aku mulai menancapkan kepala penisku di belahan vagina Dewi. posisi kaki Dewi yang naik hingga menyentuh buah dadanya, menurutku memang menggairahkan. Tetapi posisi tersebut membuat belahan vagina seakan dijepit. Karenanya ku pegang kedua kaki Dewi dan ku buka lebar ke samping. Lalu aku mulai menekan penisku menerobos masuk di sela belahan vagina Dewi yang sudah terbuka dan basah.
Tidak begitu sulit untuk memasukkan kepala penisku ke lobang kenikmatan Dewi, namun juga tidak mudah untuk memasukkan seluruh batang penisku di lobang tersebut. Aku perlu berulang kali menarik penisku keluar untuk selanjutnya melakukan tekanan lagi ke lobang tersebut. Perlahan tetapi pasti, cara tersebut telah membuat batang penisku sedikit demi sedikit masuk ke lobang vagina Dewi yang sangat sempit.
Baru setengah penisku masuk ke lobang vagina Dewi, tetapi rasanya aku telah sampai di ujung goa birahi tersebut. Ku coba terus menekan ujung goa yang terasa hangat, lembut dan lembab tersebut, namun tidak berhasil. Aku kemudian menarik tubuh dewi ke tengah tempat tidur, agar aku bisa memdapatkan posisi sempurna untuk menembus dinding lembut dalam vaginanya tersebut. Dewi mengikuti arahan keinginanku, hingga akhirnya, aku juga bisa berada sempurna di atas tempat tidur itu. Dalam posisi ini, aku dapat memeluk tubuh Dewi dan dapat mencium bibirnya yang tak henti-hentinya meranyau. Sambil terus berusaha menekan penisku lebih keras agar bisa tenggelam sempurna di lobang vaginanya, aku terus menciumi bibir Dewi sambil sesekali memainkan lidahku dalam mulutnya.
Vagina perawan memang bisa saja ditembus dengan paksa, tetapi aku ingin membuat Dewi menikmati saat-saat sakit terenggutnya keperawanannya. Aku terus memberikan tekanan di belahan vagina itu, hingga sedikit demi sedikit penisku mampu menerobos masuk di lobang sempit dan basah tersebut. Semakin aku menekan, semakin penisku tenggelam, tetapi dinding lembut di dalam vagina Dewi tersebut seakan belum tertembus, bahkan saat penisku tenggelam sempurna di lobang itu.
Saat penisku berhasil masuk sempurna di lobang vaginanya, ku tahan posisi itu beberapa saat, untuk kemudian ku tarik keluar dan ku tekan lagi. Semakin lama gerakan penisku semakin cepat dan semakin cepat, hingga akhirnya, aku merasakan dinding tersebut telah tertembus. Saat itulah tiba-tiba tubuh Dewi melengkik seakan menahan sakit. Ku tahan gerakan penisku di lobang vaginanya pada posisi terdalam selama beberapa saat. Sambil meremas-remas payudaranya, ku coba terus memberikan rangsangan pada Dewi. Tubuh Dewi sedikit demi sedikit kembali pada posisi semula, dan ia kembali tersenyum dan mencium dan melumat bibirku. Sambil membalas ciuman Dewi, aku terus meremas-remas payudaranya, sementara penisku masih belum bergarak dari posisi terdalam di lobang vagina Dewi.
Aku mulai merayapkan ciumanku ke dagu Dewi, ke leher ke dada dan ke payudaranya beberapa saat. Kemudian bibirku kembali merayap naik ke lehernya, tetapi kali ini ciumanku menuju leher bagian kirinya dan merayap naik ke telinganya. Sentuhan pada telinga tersebut ternyata memberi rangsangan lebih bagi Dewi. Ia mendesah- desah seakan tidak tahan untuk secepatnya mencapai puncak kenikmatan. ketika ku lihat Dewi sangat terangsang dengan sentuhan di bagian sekitar telinga tersebut, aku kembali memulai gerakan penisku yang terdiam di belahan vagina Dewi yang sempit. Perlahan batang penisku ku tarik keluar dari lobang yang sudah banjir tersebut, untuk kemudian ku tekan kembali dalam posisinya yang terdalam. Ku lakukan gerakan tersebut dengan sangat perlahan, namun semakin lama ku coba untuk menambah kecepatannya.
Dewi sepertinya telah bisa menikmati hubungan intim ini kembali setelah keperawanannya robek beberapa saat sebelumnya. Penisku bergerak semakin cepat menggesek dinding vagina yang sempit dan lembab itu. Suara decak air dari dalam lobang vagina Dewi mulai terdengar mengikuti irama gerakan penisku di lobang tersebut. Suara desahan dari bibir Dewi seolah tidak bisa tertahan lagi. kedua lengannya pun bergerak tanpa aturan. sesekali ia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mencium bibirku, namun sesaat kemudian ia menghempaskan kedua tangannya di atas tempat tidur dan menarik sprey penutup tempat tidur tersebut. Kadang-kadang ia juga meremas-remas payudaranya sendiri. Hingga akhirnya, ia meletakkan kedua tangannya ke perutku dan mendorongku, seakan ia memintaku untuk menghentikan permainanku.
Dapat ku rasakan bahwa Dewi telah berada lebih dari puncak kenikmatan. Ingin ku hentikan saja permainan ini, karena aku telah berhasil memberikan kepuasan pada Dewi. Tetapi masalahnya, aku pun telah berada di gerbang puncak kepuasan tersebut, sehingga aku tidak menghentikan gerakan penisku di lobang vaginanya. Aku tidak lagi memperdulikan dewi yang hampir menangis karena telah melewati dosis yang seharusnya ia dapatkan. Aku terus menggenjot lobang vaginanya –yang baru saja mengahiri masa perawannya– sampai beberapa saat kemudian, mulai terasa ada sesuatu yang mencoba keluar dari ujung penisku. Saat itu juga ku keluarkan batang penisku dari vaginanya, dan saat itu juga spermaku menyirami bulu lebat yang menumbuhi permukaan vaginanya.
Ada sebuah kepuasan tersendiri saat kami menyelesaikan upacara ritual pelepasan keperawanan Dewi malam itu. Aku terhempas di sampingnya dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhku. Ku pandangi wajah kekasihku yang terbaring di sampingku tanpa busana. Ku coba tuk mengajaknya bicara…
“Sayang!” panggilku dengan mesra pada Dewi. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian menciumku dengan cepat. Kemudian ia bangkit dari tempatnya sambil memunguti pakaiannya yang berserakan di ruangan itu.
“Buruan! pakai celanamu! ntar anak-anak keburu datang…!!” Baru saja Dewi mengungkapkan kekhawatirannya itu, tiba-tiba Budi, Rendy dan Yono berteriak mengejutkan kami…
“Naaah…!!! Ketahuan lo ya!!!” kata Budi sambil mengarahkan kamera HPnya ke tubuhku yg masih belum sempat terbaluk sehelai kain pun. Sementara Rendy dan Yono juga mengarahkan kamera HP mereka ke arah Dewi. bahkan Rendy tanpa perasaan menarik pakaian Dewi yang ia gunakan untuk menutupi payudara dan kemaluannya. Melihat sikap kurang ajar Rendy itu, aku berteriak:
“Ren! Jangan kurang ajar kamu ya!!” Aku mencoba bangkit dari tempat tidur tersebut tanpa memperdulikan tubuhku yang belum terbungkus selembar kainpun. Budi yang dari tadi hanya mengarahkan kamera HPnya kepadaku, seketika itu juga berusaha menghalangi langkahku menuju Rendy.
“sudahlah, Met! lo ga boleh marah..!!” kata Budi padaku.
“Gimana ga marah, kalau sikapnya kurang ajar begitu…” Jawabku sambil terus berusaha mendekati Rendy.
“Oke Oke, Boss! Tenang Boss..!! Kameranya udah gue mati’in…!!!” Jawab Rendy sambil melangkah mundur dari posisinya semula. Dalam kemarahan yang sudah mulai mereda, ke ambil pakaianku yang berserakan di mana-mana. Budi, Rendy dan Yono kini telah meninggalkan ruang belakang Villa tersebut menuju ke ruang depan. Sementara Dewi yang juga belum sempat menutupi tubuhnya dengan pakaian hanya diam menatapku. Seolah-olah ada yang ingin dia katakan padaku. Ku coba selami apa arti di balik tatapannya itu. Karena tak ku temukan, ku coba tuk mendekatinya dan duduk di sampingnya, lalu aku bertanya:
“Ada apa, Sayang? Cepat kenakan lagi pakaianmu…”
Dewi masih menatapku sangat dalam… Kemudian dia berkata:
BERSAMBUNG….
untuk mengetahui apa yang akan dikatakan Dewi, silahkan baca ceritanya disini…!!!!