Category Archives: Perawan

Cerita tentang perawan

Tragedi Villa Cinta

Kiriman dari: Memet di Banjarmasin

Seperti kebiasaan setiap tahunnya, hari terakhir Opspek di Kampusku selalu di isi dengan hari ramah tamah antara Mahasiswa lama yang menjadi panitia Opspek dengan seluruh Mahasiswa baru. Tahun ini, pelaksanaan ramah tamah dilaksanakan di sebuah taman wisata pantai yang berjarak kurang lebih 60 Km dari Kampusku. Seperti biasa, beberapa orang panitia diutus untuk berangkat sehari sebelumnya ke lokasi untuk mempersiapkan beberapa hal terkait pelaksanaan hari ramah tamah antara Panitia dengan peserta Opspek. Sebagai ketua panitia Opspek, aku mengirim 4 orang panitia untuk melakukan survey lokasi dan persiapan untuk pelaksanaan kegiatan hari terakhir Opspek.

Salah seorang panitia yang aku kirim untuk melakukan survey lokasi, anggap saja namanya Budi, meminta izin untuk mengajak pacarnya serta dalam survey lokasi tersebut. Ia mungkin berpikir untuk mengambil kesempatan itu untuk sekalian mengajak pacarnya refreshing ke pantai. Dari pemikiran lain, mungkin saja pacarnya yang minta diajak ke pantai, karena itulah Budi minta izin kepadaku. Masalahnya bukan pada Budi atau pacarnya, tetapi niat Budi untuk mengajak pacarnya juga membuatku berpikir untuk mengambil kesempatan itu untuk juga mengajak pacarku rekreaasi ke pantai.

Dewi, adalah nama pacarku. Ia gadis cantik mahasiswa Fakultas Ekonomi di kampusku. Awal aku menjalin hubungan dengannya adalah juga dari moment Opspek yang dilaksanakan tahun lalu. Pada waktu itu, aku juga menjadi panitia –namun bukan ketua panitia seperti Opspek tahun ini–, dan dia waktu itu masih sebagai peserta, karena dia masih mahasiswa baru waktu itu.

Dari cara berpakaiannya, Dewi memang tidak terlalu seksi, namun lekuk-lekuk tubuhnya yang indah tidak bisa disembunyikan dengan jenis pakaian apapun yang dikenakannya. Buada dadanya yang kencang dan montok, pinggangnya yang ramping, serta ditopang oleh sepasang kaki yang indah, membuatnya selalu terlihat seksi di mataku. Namun sayangnya, aku belum pernah bisa menikmati hal terdalam dari kecantikannya itu. Hampir setahun ia menjadi pacarku, jangankan bercinta, mencium bibirnya pun belum pernah. Karena itulah aku berharap dia mau ku ajak ke pantai, mumpung Budi juga membawa pacarnya.

🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂 🙂

Pagi itu adalah pagi yang cerah, bertepatan dengan dimulainya acara Opspek di aula kampus, empat orang panitia –yang telah ku tetapkan untuk melakukan survey dan persiapan di lapangan untuk hari terakhir Opspek– berangkat dengan menggunakan motor mereka masing-masing. Meskipun aku tidak melihat Budi membawa pacarnya, aku masih berpikir, dengan mereka membawa motor masing-masing, sepertinya selain Budi, ketiga panitia yang lain juga bermaksud membaca pacar mereka juga. Jika itu benar, aku tidak akan mempermasalahkan, karena dewi, pacarku, juga mau ku ajak refreshing ke pantai. Hati yang bahagia dan berbunga-bunga, membuatku tidak sabar untuk melaksanakan sejuta rencana dalam pikiranku terhadap Dewi.

*****

Hari ini adalah hari terakhir pelaksanaan Opspek di Kampus, karena besok Opspek akan dilaksanakan di Pantai. Agenda acara formal juga berakhir hari ini, karena acara di pantai, hanya diisi dengan acara ramah tamah antara panitia dengan peserta. Pelaksanaan kegiatan Opspek hari inipun ditutup lebih cepat dari hari sebelumnya, karena panitia masih harus mempersiapkan banyak hal untuk keberangkatan besok, dari masalah transportasi, konsumsi, dokumentasi, hingga berbagai hal lain yang berhubungan dengan pelaksanaan kegiatan di hari terakhir Opspek tersebut.

Jam di tanganku telah menunjukkan pukul 5 sore. Berbagai urusan untuk persiapan besok, telah aku percayakan kepada panitia yang lain untuk menyelesaikannya sesuai dengan bidang mereka masing-masing. Ini saatnya aku menjemput Dewi untuk berangkat ke pantai sesuai dengan rencanaku sebelumnya. Tidak ada satu orang panitiapun yang ku beritahu tentang rencanaku mengajak Dewi menginap di pantai, termasuk Budi dan 3 temannya yang telah berangkat tadi pagi untuk persiapan kegiatan ramah tamah panitia dengan peserta Opspek besok. Aku bermaksud memberikan kejutan pada mereka. Jika mereka tidak bekerja dengan benar, mereka pasti akan terkejut dengan kehadiran ketua panitia mereka yang datang tiba-tiba. Selain itu, jika Budi dan teman-teman mereka bermaksud memanfaatkan moment itu dengan pacar mereka masing-masing, kehadiranku yang tidak disangka-sangka pastinya juga akan menghancurkan rencana mereka.

Saat aku tiba di depan rumah Dewi, ku lihat dia sudah siap dengan jaket, helm, dan ransel. Jadi, aku tidak perlu menunggu lebih lama. Kami langsung berangkat menuju ke pantai tempat kegiatan yang berjarak sekitar 60 Km dari sini. Sepanjang perjalanan hanya tawa dan canda yang ada. Sepertinya Dewi senang dengan ajakanku ini. Namun aku tidak tahu pasti, apakah dia senang karena bersamaku, atau senang karena di sana sudah ada cewek lain, pacar Budi, dan mungkin juga pacar teman-teman Budi lainnya, sehingga dia punya treman sejenis di sana… 😦

Setibanya di pintu gerbang lokasi taman wisata pantai tersebut, matahari telah tenggelam. Ku coba mengirim SMS kepada Budi untuk mendapatkan laporan tentang lokasi villa tempat mereka menginap malam ini, ku tanyakan juga tentang apa saja persiapan yang sudah mereka lakukan hari ini, agar mereka tidak curiga bahwa aku sudah berada di pantai. Tidak berapa lama, ku terima SMS dari Budi yang berisi laporan kegiatan mereka hari ini dan lokasi villa tempat mereka menginap malam ini. Dengan menerima SMS tersebut, aku langsung menuju lokasi villa sesuai dengan keterangan dalam SMS dari Budi tersebut.

Villa CintaDari jauh, aku sudah melihat sebuah villa dengan lampu depan menyala dan di depannya terparkir 4 buah motor yang tentunya adalah milik Budi dan teman-temannya. Sejak memasuki halaman villa, motorku sudah ku matikan. Aku dan Dewi berjingkrak mendekati lokasi villa dengan hati-hati. Kebetulan waktu itu tak ada seorangpun di depan villa dan pintu depannya tertutup. Setelah ku parkirkan motorku di dekat motor mereka, ku menaiki tangga villa perlahan dan bisa ku dengarkan mereka sedang asyik bercanda dan tertawa. Entah apa yang mereka bicarakan. Tetapi yang pasti, tawa lepas mereka terhenti ketika pintu depan villa ku ketok. Ku dengar langkah salah seorang dari mereka menuju pintu dan membuka pintu depan villa.

“Boss????” itulah ekspresi keterkejutan Dana –salah satu teman Budi yang juga kuutus ke pantai sehari sebelumnya– melihatku berada di depan villa. Mendengar itu, Budi, Rendy dan Yono juga bergegas menengok siapa yang telah mengejutkan Dana.

“Bang..!!??” Demikianlah ekspresi keterkejutan Budi CS. Panggilan Abang adalah panggilan sehari-hari mereka terhadap kakak angkatan. Melihat wajah keterkejutan mereka melihat ketua panitia sudah berada di depan pintu villa membuatku balik tertawa terbahak-bahak. Ku panggil Dewi yang masih berdiri di bawah depan motorku. Dewi pun beranjak dari tempatnya menaiki tangga menuju pelataran depan villa dimana kami semua berdiri. Kehadiran Dewi bersamaku, membuat Budi, Rendy, Yono dan Dana tidak bersuara apa-apa lagi. Mereka hanya saling bertatapan satu dengan yang lainnya.

“Pacar kamu jadi ikut kan, Bud?” demikian kalimat pertama yang ditanyakan Dewi pada Budi. Mendengar pertanyaan itu, Budi menarikku ke sudut lain di depan villa itu.

“Bang! Kenapa Dewi ikut?” tanya Budi.

“Kamu sendiri? Kenapa ngajak pacar kamu?” tanyaku balik pada Budi.

“Rena nggak jadi ikut, Bang!” jawab Budi mengabarkan bahwa Rena pacarnya tidak jadi ikut ke pantai. Jawaban Budi tentu saja mengejutkanku, karena salah satu hal yang ku jadikan alasan mengajak Dewi, adalah karena Budi juga mengajak pacarnya. Ku pandang Dewi yang terlihat bertanya-tanya tentang apa yang ku bicarakan dengan Budi. Tanpa harus memandang lebih lama, ku panggil dia.

“Wi..!! sini dulu deh, Sayang…!” mendengar panggilanku itu, Dewi mendekatiku, kemudian ku katakan padanya:

“Sayang! Abang minta maaf ya… Rena nggak jadi ikut…!”

“So…?” tanya Dewi singkat.

“Sorry, Wi..!! lu mungkin kecewa, tapi mo bilang apa!? Rena ga bisa ikut karena Pamannya masuk rumah sakit. Gue juga nggak lupa ngasih kabar sama Abang …!! Sorry banget ya Wi? Demikian Budi menjelaskan padaku dan Dewi tentang batalnya Rena pacarnya ikut ke Pantai.

“So…??” demikian Dewi kembali bertanya seolah meminta solusi. Aku dan Budi saling bertatapan. kemudian, ku tarik napas panjang dan ku coba untuk mencari solusi terbaik.

“Jadi…??? gimana dong, Wi?” tanyaku pada Dewi, berharap ia memberikan solusi terbaik. Karena hal yang kami permasalahkan pada dasarnya adalah karena Dewi satu-satunya cewek di villa ini, lantaran Rena tidak jadi ikut. dengan helm dan ransel yang masih menempel ditubuhnya, Dewi menatapku dan juga Budi yang merasa bersalah dan merasa bertanggung jawab atas keadaan diluar rencana ini. Sesaat kemudian dia tersenyum dan melangkah menuju Rendy dan Yono –yang dari tadi hanya berdiri di depan pintu villa melihat ketegangan antara kami bertiga–, sambil mengatakan:

“Aku cape..!! mo mandi…” Demikian jawaban Dewi pada kami semua yang berada di pelataran villa. Dasar wanita susah ditebak. Kami tidak tahu, apakah jawabannya itu sebuah solusi, atau hanya ungkapan kejengkelan Dewi padaku atas keadaan ini. Tak seorangpun dari kami yang berani menanyakan maksudnya langsung pada Dewi, tetapi setidaknya itu sebuah solusi sementara saat ini. Bagaimana selanjutnya, kami belum tahu apa yang diinginkan Dewi. Kemudian, satu persatu kami semua masuk ke dalam villa peristirahatan yang telah disewa untuk menginap semalam tersebut.

Villa dengan nomor pintu 3 tersebut bukanlah villa mewah, tetapi pencahayaan dalam ruangan tersebut lumayan terang. Di dalamnya hanya terdapat sebuah ruang depan yang berisi sebuah meja dan sepasang kursi yang terbuat dari rotan. Tetap di depannya ada sebuah pintu menuju kamar mandi sekaligus WC. Saat aku melihat-lihat ke ruang belakang yang hanya dibatasi oleh sekat kayu triplek, hanya ada 2 buah tempat tidur kecil yang hanya cukup untuk satu orang. Di ajung ruangan ada beberapa buah ransel, mungkin itu milik Budi dan teman-temannya. Sementara ransel dan helm milik Dewi berada di atas tempat tidur yang berdempetan dengan dinding triplek pembatas antara ruang depan dan ruang belakang. Tetapi dimana Dewi?

Meskipun sempat kepikiran untuk mempertanyakan keberadaan dewi pada Budi dan kawan-kawannya yang sedang duduk-duduk santai di ruang depan, tetapi ku urungkan, karena pada saat aku kembali menuju ruang depan, ku dengan suara gemericik air di kamar mandi yang pastinya itu adalah Dewi, karena sejak di muka dia sudah mengungkapkan bahwa dia mau mandi. Kemudian, aku duduk bergabung dengan Budi dan teman-temannya di ruang depan.

Tidak berselang berapa saat, pintu kamar mandi terbuka, dan keluar sesosok tubuh wanita yang hanya dibalut oleh selembar handuk berwarna merah muda melangkah menuju kamar ruang belakang. Pemandangan yang jarang ku lihat itu telah mampu membuat aku dan 4 orang pria lain di ruangan tersebut terpana. Meskipun hanya berlangsung beberapa detik, tetapi pemandangan itu seperti rekaman slow motion pada sebuah video. Begitu singkat, namun juga begitu langka. Tak satupun diantara kami yang mengeluarkan komentar atau suara hingga beberapa detik pasca hilangnya Dewi dari pandangan mata. Keterpanaan kami justru dipecahkan oleh suara panggilan dari ruangan belakang.

“Bang!” Begitulah suara dewi yang sepertinya memanggilku.

“Ya!” Jawabku seraya beranjak dan memecahkan suasana terpana yang ada di ruang depan villa tersebut. Aku beranjak menuju kamar belakang. Ku lihat Dewi telah mengenakan celana Jeans panjang yang dipakainya diperjalanan tadi, tetapi kali ini, untuk menutupi tubuh undahnya, ia mengenakan t-shirt longgar.

“Ada apa?” tanyaku pada Dewi. Kemudian Dewi melemparkan handuk yang tadi dikenakan untuk membalut tubuhnya kepadaku, sambil berkata:

“Sana mandi dulu…!!”

“Oke deh!” jawabku sambil kembali melangkah ke ruangan depan menuju pintu kamar mandi. sementara itu, ku lihat Budi dan kawan-kawannya masih duduk santai sambil menikmati rokok dan sedikit minuman kaleng dan makanran ringan.

“Sudah mandi apa belum?” tanyaku saat membuka pintu kamar mandi sambil berbasa basi pada Budi dan kawan-kawanku yang lain.

“Kita sudah mandi tadi sore, Bang!” jawab Rendy mewakili teman-teman yang lain.

“Iya, Bang!” Abang mandi aja dulu… biar dewi kita yang jaga’in dulu!” Jawab Yono bercanda sambil tertawa dan diikuti oleh tawa Budi dan Rendy. Dengan sedikit senyuman dan mengacungkan jari tengahku pada mereka, ku tutup pintu kamar mandi.

Pada saat aku akan melepaskan seluruh pakaianku, aku melihat di lantai kamar mandi ada sebuah celana dalam dan bra berwarna putih. Ku pikir, kenapa dewi meninggalkan pakaian dalamnya begitu saja di lantai kamar mandi. Kemudian ku ambil pakaian dalam itu dan ku masukkan ke dalam sebuah ember yang ada di kamar mandi itu, kemudian ku lanjutkan kembali aktivitas mandiku meskipun dalam pikiranku, aku membayangkan Dewi mandi telanjang, menggosok-gosok seluruh bagian tubuhnya hingga bagian paling rahasia dalam dirinya. Saat aku mandi juga aku berpikir, rasanya sulit untuk mencari kesempatan menyentuh Dewi lebih dekat ke sisi-sisi terdalam dari tubuh indahnya, karena di villa ini juga ada 4 orang pria lain. Tetapi semua pencana dalam pikiranku itu langsung aku cuci dengan air di bak mandi dan ku bersihkan diriku dari debu di sepanjang perjalananku menuju villa pantai ini…. 😆

*******

Aku keluar dari kamar mandi dengan hanya mengenakan handuk. tetapi ku lihat Budi dan teman-temannya sudah tidak ada lagi. Akupun melangkah menuju ke kamar belakang dengan membawa pakaian yang belum ku kenakan, namun yang ada hanya Dewi yang sedang bermain dengan HPku di atas tempat tidur, mungkin lagi mencek SMS di inbox, siapa tahu ada SMS mencurigakan.

“Anak-anak dimana, Wi?” tanyaku pada Dewi yang mungkin tahu keberadaan mereka.

“katanya mo keluar dulu, nyari makan kke warung!” jawab Dewi sambil terus memandang ke layar HPku.

“Oooh begitu ya!” ungkapku sambil sedikit mengangguk. Ku lihat Dewi sangat asyik berbaring sambil memainkan ibu jarinya di keypad HPku, ia tidak sedikit pun menoleh padaku. Sementara aku ingin mengganti pakaian yang belum ku kenakan semenjak dari kamar mandi tadi.

“Sayang! keluar sebentar ya! Abang mo ganti pakaian dulu…”

“Ganti aja! apa susahnya!?” jawab Dewi cuek, tanpa sedikitpun merasa tidak enak padaku.

“Abang nggak enak, Sayang! Nanti punya Abang kelihatan.”

“Kalau nggak mau kelihatan, kenapa nggak ganti di kamar mandi aja? Kan enak tu, nggak ada yang lihat…”

“Kan lantainya basah, Sayang! Abang nggak bawa apa-apa. dari kampus hanya pakaian ini aja yang Abang bawa…”

“Ya sudah! Ganti di sini aja, apa susahnya???” Kali ini, ia melirikkan sedikit pandangannya kepadaku. Dalam diamku melihat sikapnya yang tidak pernah ke rasakan sebelumnya, tiba-tiba ia meletakkan HPku dan bangkit dari tempat tidurnya menuju ke arahku.

“Apa perlu Dewi yang memasangkan pakaian Abang?” demikian ungkapnya pada saat ia telah berdiri tepat di depanku. Darahku berdesir cepat dan jantungku berdetak menghantam dinding dadaku. Aku tidak pernah melihat sikap Dewi seperti ini selama setahun berpacaran dengannya. Ada sebuah pertanyaan di kepalaku, Apakah Dewi juga mengharapkan ini, sehingga dia mau ku ajak nginap di pantai ini?”

Dalam kebingunganku atas sikapnya, tiba-tiba Dewi mengambil pakaian yang tergantung di lenganku dan meletakkannya di atas tempat tidur. Sesaat kemudian, kedua tangannya menarik handuk yang terbalut di pinggangku. Tanpa mampu menahan perbuatannya terhadapku, kini ku telah kembali telanjang seperti di dalam kamar mandi, karena handuk yang menjadi satu-satunya kain yang menutup tubuhku telah dilepaskannya dari tubuhku. Dewi tertundung dan melihat ke arah penisku, dan sesaat kemudian ia mengalungkan lengannya ke leherku, sambil berkata:

“Abang nggak pingin mencium dewi, ya?” Aku terkejut dan terdiam mendengar ucapannya yang sungguh tak ku sangka-sangka. Aku terdiam beberapa saat, dalam kebingungan apa yang harus ku lakukan. Apakah ku harus menerima atau menolak tawarannya? Ciuman-ciuman kecil di bibirku pun seolah tak ku hiraukan, meskipun sebenarnya darah dan jantungku sudah bergerak cepat tak terkendali. Akhirnya dengan memberanikan diri, ku ikatkan lenganku di pinggangnya. dan ku jatuhkan tubuhnya kembali ke atas tempat tidur. Ku lepaskan seluruh pakaian yang masih menempel di tubuhnya dan ku mandikan seluruh tubuhnya dengan lidahku, dari ujung kepala hingga ujung kaki telah basah dengan air liurku.

Ini pertama kali ku lihat tubuh indah Dewi secara utuh. Terbaring terkulai penuh birahi sehingga menambah gairah dalam diriku. Payudaranya memang benar-benar montok, bukan kencang karena BH yang digunakannya. Perutnya datar kecuali pada bagian bawah perutnya yang ditumbuhi bulu lebat itu, terlihat menggunduk, dan mencembung. Terlihat sangat lebat dan tak terawat, tetapi bagian itu juga mampu memaksa birahiku untuk mendekatinya dan menjilatinya sekali lagi. Ada sebuah kepuasan tersendiri saat memainkan lidahku pada bagian itu, terutama pada belahan rapat yang ada di bagian bawahnya.

Dewi begitu menikmati permainan lidahku di belahan vaginanya. Sepertinya inilah yang dia harapkan dari kesempatan bertamsya ke Pantai ini. Rupanya dibalik keanggunan penampilannya selama ini tersebunyi birahi yang tak tertumpahkan. Permainan cinta di kamar villa ini benar-benar menjadi hal yang terindah selama kebersamaanku dengan Dewi.

Sambil ku peluk tubuh indahnya, ku coba sedikit ngobrol dengan Dewi hanya sekedar mencari tahu apa isi dan perasaan di dalam hatinya? Ku tatap matanya sedalam-dalamnya. ku tempelkan dadaku di atas payudaranya yang montok, dan ku sandarkan batang penisku di selangkangannya. Matanya yang pada mulanya terpenjam, kini menatap balik bola mataku, seolah mencari tahu, ada apa di sana. Tak seberapa lama kemudian, dia tersenyum begitu manisnya… Ya Ampuuun, Dewi…!! kamu benar-benr cantik malam ini…” begitulah hatiku berteriak memuja keindahan kekasihku ini. Aku kemudian bangkit dari atas tubuhnya dan duduk di salah satu sisi tempat tidur dimana Dewi masih terlentang tanpa busana. Ku coba untuk mengajaknya bicara:

“Sayang..!”

“Mmmh…”

“Dewi pernah melakukan ini?” Dewi menggelengkan kepalanya sambil melempar senyum kepadaku. Kemudian ku tanya lagi tentang keperawanan. Dewi bukannya menjawab, ia hanya bangkit dari tempat tidurnya dan berdiri dan duduk dipankuanku sambil mengikatkan kedua lengannya di tubuhku, dan menyandarkan kepalanya di dadaku.

“Sayang!” panggilnya manja sambil meletakkan telapak tangannya di pipiku, menarikku untuk menatap wajahnya. Dia tersenyum kepadaku kemudian menarikku untuk menciumnya. Aku tak kuasa menolak keinginannya yang terucap tanpa kata. ku cium bibirnya, ku lumat dan sesekali ku masukkan lidahku tuk menyentuh ujung lidahnya. Posisi ini benar-benar sangat menggairahkan. Sesosok tubuh tanppa busana, duduk dipangkuanku seperti layaknya seorang bayi, namun aku bisa menikmati bibirnya sambil meremas-remas payudaranya. Hingga akhirnya pun ku sadari, dengan posisi ini aku juga bisa memainkan jariku di belahan vaginanya sambil terus menutup mulutnya dengan bibir dan lidahku. Sangat romantis sekaligus sangat seksi.

Saat jariku bermain di belahan vaginanya, Dewi secara reflek membuka selangkanganya, sehingga jariku lebih mudah bergerak di antara kedua pangkal pahanya. Tubuhnya sesekali mengejang saat ujung jariku menyentuh clitorisnya yang tersembunyi di antara bulu vagina yang lebat. Belahan vagina dewi terasa mulai banjir oleh cairan yang mengalir dari dalam lobang vaginanya. Hal ini membuatku ingin memasukkan jariku ke lobang kenikmatan yang berada pada bagian bawah belahan itu. Jariku mulai merayap menuju bagian bawah belahan vagina Dewi, tetapi baru saja jariku bermuara di lobang kecil itu, tiba-tiba tangan Dewi menampiknya dan ia melepaskan bibirku yang dari tadi mencium bibirnya. Dia menatapku beberapa saat lalu kemudian melemparkan sedikit senyum di bibirnya dan berkata:

“Sayang! Aku tidak ingin keperawananku diambil oleh jarimu…” setelah mengatakan itu, Dewi bangkit dari pelukanku kemudian ia duduk di sisi ranjang kecil itu. Ia kembali membalutkan tangan kirinya di leherku dan menarikku untuk mebali mencium bibirnya. sementara tangan kanannya bermain di belahan vaginanya. Dalam posisi berciuman sambil duduk berdampingan di sisi tempat tidur, memberiku kesempatan untuk kembali bisa meremas-remas payudaranya, meskipun hanya dengan salah satu dari tanganku, karena tangan satunya harus bertumpu ke tempat tidur untuk menahan beban tubuhku. Karena hanya kiriku yang bisa beraksi, jadi payudaranya ku remas secara bergantian.

Tidak berapa lama melakukan gaya tersebut, Dewi mulai menurunkan posisi tubuhnya dalam posisi masih berciuman. Akupun tidak melepaskan ciumanku di bibirnya dan remasan di payudaranya. Ku ikuti arah pergerakan tubuh Dewi yang semakin turun hingga akhirnya, ia kembali terbaring di tempat tidur dengan kaki masih berada di lantai. Kemudian ia menarik kakinya ke atas hingga lututnya menyentuh payudaranya. Sambil menghentikan ciumannya, ia berbisik padaku.

“Sayang! masukkan sekarang……” Permintaan dewi tersebut aku pahami dengan baik. Kenikmatan aroma birahi telah membuat Dewi melupakan resiko dari hubungan ini. Tetapi gejolak birahi tersebut bukan hanya menimpa Dewi. Aku pun terbuai oleh keinginan untuk menikmati lobang kenikmatan Dewi yang sejak awal hubunganku belum pernah ku sentuh. Aku bangkit dari posisiku dan berdiri di sisi tempat tidur dan mengarahkan batang penisku yang sudah sangat tegang ke belahan vagina yang terkangkang di sisi tempat tidur. Dalam posisi setengah berdiri, karena tempat tidur yang tidak begitu tinggi, aku mulai menancapkan kepala penisku di belahan vagina Dewi. posisi kaki Dewi yang naik hingga menyentuh buah dadanya, menurutku memang menggairahkan. Tetapi posisi tersebut membuat belahan vagina seakan dijepit. Karenanya ku pegang kedua kaki Dewi dan ku buka lebar ke samping. Lalu aku mulai menekan penisku menerobos masuk di sela belahan vagina Dewi yang sudah terbuka dan basah.

Tidak begitu sulit untuk memasukkan kepala penisku ke lobang kenikmatan Dewi, namun juga tidak mudah untuk memasukkan seluruh batang penisku di lobang tersebut. Aku perlu berulang kali menarik penisku keluar untuk selanjutnya melakukan tekanan lagi ke lobang tersebut. Perlahan tetapi pasti, cara tersebut telah membuat batang penisku sedikit demi sedikit masuk ke lobang vagina Dewi yang sangat sempit.

Baru setengah penisku masuk ke lobang vagina Dewi, tetapi rasanya aku telah sampai di ujung goa birahi tersebut. Ku coba terus menekan ujung goa yang terasa hangat, lembut dan lembab tersebut, namun tidak berhasil. Aku kemudian menarik tubuh dewi ke tengah tempat tidur, agar aku bisa memdapatkan posisi sempurna untuk menembus dinding lembut dalam vaginanya tersebut. Dewi mengikuti arahan keinginanku, hingga akhirnya, aku juga bisa berada sempurna di atas tempat tidur itu. Dalam posisi ini, aku dapat memeluk tubuh Dewi dan dapat mencium bibirnya yang tak henti-hentinya meranyau. Sambil terus berusaha menekan penisku lebih keras agar bisa tenggelam sempurna di lobang vaginanya, aku terus menciumi bibir Dewi sambil sesekali memainkan lidahku dalam mulutnya.

Vagina perawan memang bisa saja ditembus dengan paksa, tetapi aku ingin membuat Dewi menikmati saat-saat sakit terenggutnya keperawanannya. Aku terus memberikan tekanan di belahan vagina itu, hingga sedikit demi sedikit penisku mampu menerobos masuk di lobang sempit dan basah tersebut. Semakin aku menekan, semakin penisku tenggelam, tetapi dinding lembut di dalam vagina Dewi tersebut seakan belum tertembus, bahkan saat penisku tenggelam sempurna di lobang itu.

Saat penisku berhasil masuk sempurna di lobang vaginanya, ku tahan posisi itu beberapa saat, untuk kemudian ku tarik keluar dan ku tekan lagi. Semakin lama gerakan penisku semakin cepat dan semakin cepat, hingga akhirnya, aku merasakan dinding tersebut telah tertembus. Saat itulah tiba-tiba tubuh Dewi melengkik seakan menahan sakit. Ku tahan gerakan penisku di lobang vaginanya pada posisi terdalam selama beberapa saat. Sambil meremas-remas payudaranya, ku coba terus memberikan rangsangan pada Dewi. Tubuh Dewi sedikit demi sedikit kembali pada posisi semula, dan ia kembali tersenyum dan mencium dan melumat bibirku. Sambil membalas ciuman Dewi, aku terus meremas-remas payudaranya, sementara penisku masih belum bergarak dari posisi terdalam di lobang vagina Dewi.

Aku mulai merayapkan ciumanku ke dagu Dewi, ke leher ke dada dan ke payudaranya beberapa saat. Kemudian bibirku kembali merayap naik ke lehernya, tetapi kali ini ciumanku menuju leher bagian kirinya dan merayap naik ke telinganya. Sentuhan pada telinga tersebut ternyata memberi rangsangan lebih bagi Dewi. Ia mendesah- desah seakan tidak tahan untuk secepatnya mencapai puncak kenikmatan. ketika ku lihat Dewi sangat terangsang dengan sentuhan di bagian sekitar telinga tersebut, aku kembali memulai gerakan penisku yang terdiam di belahan vagina Dewi yang sempit. Perlahan batang penisku ku tarik keluar dari lobang yang sudah banjir tersebut, untuk kemudian ku tekan kembali dalam posisinya yang terdalam. Ku lakukan gerakan tersebut dengan sangat perlahan, namun semakin lama ku coba untuk menambah kecepatannya.

Dewi sepertinya telah bisa menikmati hubungan intim ini kembali setelah keperawanannya robek beberapa saat sebelumnya. Penisku bergerak semakin cepat menggesek dinding vagina yang sempit dan lembab itu. Suara decak air dari dalam lobang vagina Dewi mulai terdengar mengikuti irama gerakan penisku di lobang tersebut. Suara desahan dari bibir Dewi seolah tidak bisa tertahan lagi. kedua lengannya pun bergerak tanpa aturan. sesekali ia melingkarkan kedua tangannya di leherku dan mencium bibirku, namun sesaat kemudian ia menghempaskan kedua tangannya di atas tempat tidur dan menarik sprey penutup tempat tidur tersebut. Kadang-kadang ia juga meremas-remas payudaranya sendiri. Hingga akhirnya, ia meletakkan kedua tangannya ke perutku dan mendorongku, seakan ia memintaku untuk menghentikan permainanku.

Dapat ku rasakan bahwa Dewi telah berada lebih dari puncak kenikmatan. Ingin ku hentikan saja permainan ini, karena aku telah berhasil memberikan kepuasan pada Dewi. Tetapi masalahnya, aku pun telah berada di gerbang puncak kepuasan tersebut, sehingga aku tidak menghentikan gerakan penisku di lobang vaginanya. Aku tidak lagi memperdulikan dewi yang hampir menangis karena telah melewati dosis yang seharusnya ia dapatkan. Aku terus menggenjot lobang vaginanya –yang baru saja mengahiri masa perawannya– sampai beberapa saat kemudian, mulai terasa ada sesuatu yang mencoba keluar dari ujung penisku. Saat itu juga ku keluarkan batang penisku dari vaginanya, dan saat itu juga spermaku menyirami bulu lebat yang menumbuhi permukaan vaginanya.

Ada sebuah kepuasan tersendiri saat kami menyelesaikan upacara ritual pelepasan keperawanan Dewi malam itu. Aku terhempas di sampingnya dengan keringat yang membasahi seluruh tubuhku. Ku pandangi wajah kekasihku yang terbaring di sampingku tanpa busana. Ku coba tuk mengajaknya bicara…

“Sayang!” panggilku dengan mesra pada Dewi. Dia menatapku dan tersenyum, kemudian menciumku dengan cepat. Kemudian ia bangkit dari tempatnya sambil memunguti pakaiannya yang berserakan di ruangan itu.

“Buruan! pakai celanamu! ntar anak-anak keburu datang…!!” Baru saja Dewi mengungkapkan kekhawatirannya itu, tiba-tiba Budi, Rendy dan Yono berteriak mengejutkan kami…

“Naaah…!!! Ketahuan lo ya!!!” kata Budi sambil mengarahkan kamera HPnya ke tubuhku yg masih belum sempat terbaluk sehelai kain pun. Sementara Rendy dan Yono juga mengarahkan kamera HP mereka ke arah Dewi. bahkan Rendy tanpa perasaan menarik pakaian Dewi yang ia gunakan untuk menutupi payudara dan kemaluannya. Melihat sikap kurang ajar Rendy itu, aku berteriak:

“Ren! Jangan kurang ajar kamu ya!!” Aku mencoba bangkit dari tempat tidur tersebut tanpa memperdulikan tubuhku yang belum terbungkus selembar kainpun. Budi yang dari tadi hanya mengarahkan kamera HPnya kepadaku, seketika itu juga berusaha menghalangi langkahku menuju Rendy.

“sudahlah, Met! lo ga boleh marah..!!” kata Budi padaku.

“Gimana ga marah, kalau sikapnya kurang ajar begitu…” Jawabku sambil terus berusaha mendekati Rendy.

“Oke Oke, Boss! Tenang Boss..!! Kameranya udah gue mati’in…!!!” Jawab Rendy sambil melangkah mundur dari posisinya semula. Dalam kemarahan yang sudah mulai mereda, ke ambil pakaianku yang berserakan di mana-mana. Budi, Rendy dan Yono kini telah meninggalkan ruang belakang Villa tersebut menuju ke ruang depan. Sementara Dewi yang juga belum sempat menutupi tubuhnya dengan pakaian hanya diam menatapku. Seolah-olah ada yang ingin dia katakan padaku. Ku coba selami apa arti di balik tatapannya itu. Karena tak ku temukan, ku coba tuk mendekatinya dan duduk di sampingnya, lalu aku bertanya:

“Ada apa, Sayang? Cepat kenakan lagi pakaianmu…”

Dewi masih menatapku sangat dalam… Kemudian dia berkata:

BERSAMBUNG….
untuk mengetahui apa yang akan dikatakan Dewi, silahkan baca ceritanya disini…!!!! 

Menjual Keperawanan Demi Kepuasan

Kiriman dari Irwan di Kupang

Kisah yang aku kirim ini hanyalah imaginasiku. Mudah-mudahan kisah ini bisa diterima oleh admin. Bagi yang mau untuk terus membacanya, saya persilahkan. Bagi yang kecewa dengan pengantar ini, ya tidak apa-apa jua sih! Pada dasarnya, aku hanya mengungkapkan imaginasi liarku terhadap seorang gadis kecil berbadan montok dari keluarga miskin di dekat tempat tinggalku, sebelum akhirnya dia menikah beberapa tahun setelah lulus SD. Anggap saja namanya Misna… (pastinya bukan nama dia yg sebenarnya)

Misna adalah seorang gadis muda yang baru saja lulus SD. Karena masalah ekonomi, ia tidak meneruskan pendidikannya ke jenjang menengah pertama. Kalau dari perawakannya, ia memang tidak begitu cantik, kulitnya terkesan gelap, karena sepertinya fasilitas untuk berdandan tidak bisa dipenuhi oleh orang tuanya. Namun demikian, Misma memiliki postur tubuh yang bisa dianggap melebihi usianya. Bayangkan anak yang baru lulus SD, mungkin usianya baru 12 – 13 tahun, tetapi secara fisik, orang yang mengenalnya sesaat, mungkin akan mengira ia berusia di atas 20 tahun, mungkin ada juga yang akan menebak, ia sudah menikah. Tetapi bagi orang-orang di sekitar komplek ini tahu bahwa ia baru saja melepaskan seragam putih merah beremblem Tut Wuri Handayani. Tertipunya anggapan orang terhadap Misna ini bisa jadi disebabkan oleh ukuran beberapa bagian tubuhnya yang jauh di atas standar gadis seusianya. Ukuran Payudara seperti wanita yang sedang hamil 8 bulan, bokongnya besar seperti Ibu yang sudah pernah melahirkan. Jadi, lucu rasanya, dengan tubuh seperti itu, ia masih mengenakan segaram SD. 🙂

Wild Life Imagination
Menjual Keperawanan Demi Kepuasan

Misna mungkin gadis yang kurang beruntung, karena ia terlahir dari keluarga yang serba tidak berkecukupan. Rumah tempat ia tinggal bersama orang tua dan kedua adiknya yang berusia 4 tahun dan 1 tahun, berada di ujung jalan Gang dan agak terpisah dari rumah warga lainnya, bahkan bisa dikatakan, jalan menuju ke rumahnya bukanlah jalan gang, karena beberapa meter menuju rumahnya adalah jembatan yang tersusun dari pohon Bambu. Rumah mereka hanya berukuran 3×5 meter di Bangun di atas sepetak tanah belukar.

Dalam pikiran kotorku, di ruangan rumah yang sekecil itu, orang tua Misna tidak akan bisa melakukan hubungan suami istri tanpa diketahui oleh anak-anaknya. Bagi kedua adik Misna, mungkin tidak berpengaruh besar, karena mereka masih belum begitu mengerti arti hubungan suami istri, tetapi bagi Misna, hal seperti itu jelas akan menarik perhatiannya dan mungkin akan menjadi tanda tanya di kepalanya, “apa yang sedang dilakukan kedua orang tuanya?” 🙂 Aku bahkan sempat berpikir, terjadinya perubahan fisiknya yang berbeda dari kebanyakan anak seusianya, karena ia juga telah dilibatkan oleh orang tuanya dalam hubungan seks terlarang di dalam rumah kecil tersebut, untuk mencari sebuah sensasi dalam hubungan seks pasangan suami istri. Hanya saja kepolosan Misna membuatnya secara tidak sadar sudah pernah terlibat dalam hubungan seks tak wajar. (Mungkiiiin…!!!! ini hanya tebakanku saja…) 🙂

*****

Pemikiran ekstremku tentang gadis miskin yang ada di dekat komplek tempat tinggalku itu, pada suatu ketika, ku sampaikan pada Rony teman kuliahku yang isi otaknya tidak terlalu jauh beda denganku, hanya saja ia anak orang kaya, sehingga dengan sedikit mengocek isi dompetnya, atau hanya dengan memperlihatkan kartu kreditnya, ia bisa mendapatkan apa yang diinginkannya.

Tak disangka dan tak diduga, pemikiran kotorku tentang keluarga Misna berbuah sambutan hangat dari Rony. Ia malah mengajakku menemui Misna untuk membayarnya mahal jika mau melayaninya bercinta di rumah Misna sendiri. Aku tak menyangka, sambutan Rony akan seperti itu. Sekotor-kotornya otakku, aku masih memikirkan akibat yang mungkin akan ku terima jika pemikiran kotor itu diwujudkan dalam nyata. Rony terus mendesakku untuk mau mempertemukannya dengan Misna dan memanfaatkan kemiskinannya. Gara-gara mengungkapkan tentang pemikiran-pemikiran kotor di otakku kepada Rony, malah aku sendiri yang kerepotan jadinya…

Setiap kali bertemu Rony, ia terus saja mendesakku untuk mempertemukannya dengan Misna, si gadis kecil, bertubuh dewasa. Setiap kali itu pula aku berusaha untuk menolaknya dengan alasan aku malu, jika ternyata dugaanku salah. Tetapi ia terus saja mendesakku dengan cara lain yang berakibat ringan padaku. Aku tetap berusaha menolaknya, hingga akhirnya aku putuskan untuk membantunya dengan sedikit catatan kecil di bagian bawah, “Apapun yang terjadi, jangan libatkan aku, Ron..!!!” Tanpa berpikir panjang, Rony menyetujui persyaratanku itu.

*****

Hingga tibalah saat yang direncanakan…..

Sepulang dari kuliah, Rony ikut ke rumahku dengan alasan mengerjakan tugas kuliah yang kebetulan filenya ada di komputerku. Orang tuaku juga memang sudah mengenal Rony, sehingga keberadaannya dan rencana yang sedang kami jalankan tidak tertebak oleh mereka. Sore itu, aku dan Rony hanya diam di kamarku untuk memberikan kesan kami memang mengerjakan tugas kuliah.

Pada saat menjelang makan malam, Rony minta izin pulang pada Ibuku, tetapi Ibuku menahannya.

Kok buru-buru? Kita makan malam dulu, ya Ron? tuh, sudah Ibu siapkan di meja makan…” kata Ibuku.

Iya deh, Bu!” Itulah jawaban Rony menerima tawaran makan malam Ibuku yang sebenarnya sudah kami rencanakan, agar Rony terlihat tidak ingin pulang larut, namun menjadi lebih larut karena harus memenuhi tawaran makan malam dari Ibuku terlebih dahulu.

Sekitar jam 20.00 malam, tak seberapa lama setelah perbicangan ringan di ruang tamu selepas makan malam, Rony kembali minta izin pada Ibuku untuk pulang, tetapi kali ini ia minta izin untuk mengajakku menginap di rumahnya. Tanpa curiga sedikitpun, Ibu mengizinkan aku untuk menginap di rumahnya. Untuk itu aku kembali ke kamarku untuk sedikit berkemas beberapa pakaian untuk menginap di rumah Rony dan memasukkannya ke dalam ransel kecil yang biasa ku pakai ke sekolah. Setelah selesai berkemas, aku juga minta izin pada Ibu bahwa besok aku langsung ke kampus dari rumah Rony. Ibu pun mengizinkan dan tidak sedikitpun menaruh curiga pada apa yang akan kami lakukan malam itu.

Dengan mobil Honda jazz hitam milik Rony, kami meninggalkan rumah orang tuaku untuk memulai apa yang telah kami rencanakan. setelah berjalan beberapa blok, aku memandu Rony untuk membelokkan mobilnya ke kanan dan masuk ke sebuah blok di mana Risna tinggal. Tepat di depan sebuah Gereja kecil, aku meminta Rony untuk memarkirkan mobilnya. Selanjutnya, ku pandu dia melalui seluler untuk memasuki Gang kecil yang berada tak jauh dari Gereja tersebut.

Setelah Rony menemukan dan yakin posisi rumah Risna sesuai panduanku, dia menutup telponku. Sementara itu aku hanya bisa menunggu di Mobil berkaca gelap itu dengan harap-harap cemas, apakah rencana kami akan berjalan lancar atau justru sebaliknya. Dalam perasaan yang tidak menentu, ku putar musik mp3 yang sudah tersedia di mobilnya. Dinginnya AC sepertinya juga tidak bisa membuatku nyaman menunggu sesuatu yang mungkin akan terjadi padaku dan Rony.

*****

Sekitar 30 menit, aku menunggu di dalam mobil dengan perasaan gelisah tak menentu, tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah ketukan di pintu mobil. “Tok! Tok! Tok!” ternyata Rony sudah kembali ke mobil tanpa ku sadari. Melihat dari raut mukanya, sepertinya kekayaannya kembali berhasil memuluskan jalan dari rencana kami. Rony masuk ke mobil dan mengatakan bahwa kami akan jalan-jalan dulu dan kembali ke sini menjelang tengah malam. Lampu depan Honda jazz itu menyala dan kami memutar mobil ke luar komplek untuk jalan-jalan, menghilangkan kebosanan di saat harus menunggu moment yang memang sudah kami rencanakan.

Dalam perjalanan itulah kemudian Rony bercerita, bahwa dia telah menjanjikan uang senilai Rp.1.000.000,- kepada orang tua Misna untuk menghargai keperawanan anak mereka yang bernama Misna itu. Rony juga menjanjikan Rp.1.000.000,- lagi kepada mereka, apabila mereka mau terlibat dalam pesta pelepasan keperawanan Misna. Ternyata, Rp.2.000.000,- bagi keluarga ini, adalah nilai yang sangat besar untuk menghargai arti sebuah keperawanan anak sulung mereka.

Dalam pertemuan pertama itu Rony telah menguras Rp.500.000,- dari dompetnya. Rony memberikan uang cash Rp.200.000,- karena Misna mau memenuhi permintaannya melepaskan seluruh pakaiannya di depan Rony dan kedua orang tuanya. Uang Rp.200.000,- itu ditarohnya di belahan vagina Misna. Selain itu, Rony juga meminta kepada kedua orang tua Misna untuk mempertontonkan hubungan seksual di depan Rony dan Misna, dan menjanjikan uang Rp.300.000,- lagi mereka mau melakukannya. Menurut cerita Rony, kedua orang tua Misna mau melakukan itu, jika pembayarannya di depan. Tanpa pikir panjang, Rony memberikan uang Rp.300.000,- itu pada mereka, dan juga tanpa pikir panjang, kedua orang tua Misna pun melepaskan seluruh pakaian mereka dan melakukan hubungan suami istri di depan mata Rony dan Misna. Sebelum meninggalkan rumah itu, Rony membisikkan pada Misna, bahwa dia akan kembali menjelang tengah malam dengan uang dalam jumlah yang lebih besar untuk melakukan apa yang dilakukan kedua orang tuanya. Begitulah cerita Rony kepadaku dalam perjalanan kami menyusuri jalan menunggu moment yang dinantikan.

Di depan sebuah Mini Market, Rony memarkirkan mobilnya dan beranjak keluar menuju sebuah ATM. Setelah dia keluar dari pintu ATM, dia masuk ke Mini Market tersebut. Beberapa saat kemudian dia keluar membawa sebuah bungkusan kantong plastik. Mungkin dia memberi beberapa keperluan untuk malam ini.

*****

Beberapa menit menjelang pukul 11 malam, kami telah kembali ke komplek di dekat tempat tinggalku dan kembali memarkirkan Honda Jazz hitam itu di depan sebuah Gereja kecil dalam komplek tersebut. Kami tinggalkan mobil Rony di depan gereja, agar orang tidak tahu bahwa tujuan kami adalah sebuah Gang yang berada tak jauh dari gereja tersebut.

Sesampainya di depan rumah Risna, Rony langsung mengetuk pintu rumah kecil tersebut dan terdengar suara dari dalam rumah yang bergeas membukakan pintu. Setelah pintu depan rumah itu terbuka, muncul seorang pria separuh baya yang tak lain adalah Ayahnya Risna yang langsung mempersilahkan kami masuk dengan suara agak berbisik. Rony langsung membimbingku untuk ikut masuk, dan Ayah Misna pun langsung menutup dan mengunci pintu rumahnya.

Ini adalah pertama kalinya aku memasuki rumah Misna. Ruangannya yang hanya berukuran 3×5 meter dibagi menjadi dua, ruang depan dan ruang tidur yang hanya dibatasi dengan terpal tipis berwarna biru. Dinding rumah mereka terbuat dari kayu yang tidak tersusun rapi. di beberapa bagian terlihat sudah rapuh, dan di beberapa bagian lainnya terlihat tempelan papan yang sepertinya berpungsi untuk menambal bagian yang berlobang. Atap rumah mereka hanya terbuat dari anyaman daun kelapa. Tidak ada satupun hiasan yang menempel di dinding rumah mereka.

Di saat aku sedang asyik mengawasi ruangan sempit dalam rumah Misna, tiba-tiba Ayah Misna berbisik kecil kepadaku:

“Jagalah rahasia ini untuk kita saja!” Begitulah bisiknya kepadaku.

“Iya, Pak!” jawabku agak terkejut dengan permintaan tersebut. Rupanya Rony juga sudah menceritakan bahwa selain dia, aku juga akan ikut dalam pesta malam itu.

Rony membuka bungkusan plastik yang berisi beberapa keperluan pesta yang dibelinya di Mini Market tadi. Sebuah pengharum ruangan semrot langsung dikeluarkannya dan disemprotkan ke seisi ruangan. Rony juga membeli sebuah lampu neon, dan meminta Ayah Misna untuk mengganti lampu bolam yang ada di ruangan tersebut. Selanjutnya, ia mengeluarkan sebuah bungkusan yang ternyata berisi beberapa set pakaian dalam wanita. Rony menyerahkan itu kepada Ayahnya Misna untuk dikenakan anaknya. Dan terakhir, Rony mengeluarkan kamera digitalnya dan menyerahkan kepadaku dan memintaku untuk mereka sebaik mungkin setiap moment dalam pesta seks kecil malam itu.

*****

Rony memintaku untuk menyalakan kamera digital dan mulai merekam setiap moment pesta seks di rumah kecil ini. Cahaya lampu neon yang baru saja dipasang seolah memperjelas gambar yang ditangkap oleh kamera digital Rony ini. Aku mulai merekam dan mengarahkan fokus pada Rony, namun Rony memintaku mengarahkan kamera ke dalam ruangan. Pesta malam ini dimulai dengan kemunculan Misna yang hanya mengenakan CD&BH yang baru saja diberikan oleh Rony. Misna terlihat sangat seksi dengan pakaian itu. Rambut panjang sebahunya terlihat masih basah. Kemungkinan dia sengaja mandi untuk pesta seks malam itu.

Melihat Misna yang sudah siap berpesta, Rony pun melepaskan seluruh pakaiannya dan berdiri di depan Misna untuk selanjutnya meminta Misna untuk mengulum penisnya yang sudah terlihat keras. Misna hanya menurut saja. di kulumnya penis Rony dan dimasukkannya ke dalam mulutnya. Setelah beberapa saat, Rony meminta Misna untuk berbaring di sebuah kasur usang yang mereka miliki. Rony menarik CD yang dipakai Misna dengan perlahan. Terihat jelas melalui kamera digitalku permukaan vagina Misna yang mulai ditumbuhi oleh bulu-bulu kecil, seta belahan vagina yang masih sangat rapat. Setelah CD Risna terlepas sempurna, Rony langsung mengarahkan penisnya ke belahan vagina Misna, dan berusaha menjejalkan penisnya ke sela belahan tersebut.

Terlihat jelas bahwa belahan vagina itu memang belum pernah menelan benda tumpul milik pria. Berulang kali Rony berusaha menekan, bukannya berhasil menerobos, namun yang terekam hanyalah suara erangan kecil di bibir Misna yang terlihat menahan perih. Dengan kedua tangannya, Rony berusaha membuka belahan vagina Misna untuk mempermudah penisnya masuk, namun tetap tidak berhasil. Sambil terus merekam, ku katakan pada Rony untuk membasahi bibir vagina Misna dulu. Rony menuruti permintaanku, dan mulai mengarahkan kepalanya ke selangkangan Misna dan menjilati belahan vagina Misna.

Aroma birahi sedikit demi sedikit mulai tercium. rintihan kenikmatan yang keluar dari mulut Misna mulai terdengar dan semakin menambah indah gairah seks di ruangan kecil ini. Dingin malam yang semakin menusuk, membuatku juga ingin ikut merasakan kenikmatan tubuh Misna. Penisku semakin menegang dan rasanya camera digital ini mau ku serahkan saja pada orang lain. Tapi aku ikut saja dalam permainan Rony, seperti apa susunan acara pesta malam ini.

Dalam fokus zoom kamera digital, terlihat jelas bahwa belahan vagina Misna telah basah oleh air liur Rony, seketika itu pula ku berikan isyarat kepada rony untuk memulai kembali aksi sebelumnya yang tidak berjalan mulus. Rony mengerti dengan isyarat itu dan dia kembali mengarahkan penisnya ke belahan vagina Misna yang telah basah kuyup. Dengan perlahan, Rony mulai menjejalkan kembali kepla penisnya ke lobang di bagian bawah belahan vagina Misna. Terekam oleh cameraku, kepala penis Rony telah berhasil membelah permukaan vagina Misna. Dengan perlahan Rony terus menekan batang penisnya menerobos lobang vagina Misna. Sedikit demi sedikit batang penis Rony mulai tenggelam di vagina Misna hingga akhirnya ia berhasil menyentuh sisi terdalam dari lobang vagina Misna dan diiringi oleh desah kenikmatan di bibir Misna.

Rony membiarkan penisnya amblas di vagina Misna beberapa saat lamanya. Sementara itu, ia meminta Misna untuk melepaskan BHnya. Risna hanya menurut saja, setiap permintaan Rony tersebut. Setelah Misna bugil tanpa sehelai kain pun menutup tubuhnya, Rony mulai memainkan lidahnya dengan payudara Misna yang besar dan sangat montok. Sementara itu, salah satu tangannya meremas-remas payudara Misna yang satunya. Terekam di kameraku Rony mulai memainkan pantatnya menarik penis keluar dari lobang vagina Misna dan memasukannya kembali. ku ambil posisi dari bawah selangkangan Misna untuk mereka moment itu. Semakin lama, gerakan keluar masuk penis Rony di lobang vagina Misna itu semakin cepat.

Setelah beberapa lama ia melakukan aktivitas itu, Rony mengeluarkan penisnya dari lobang vagina Misna. Ia berdiri dan mengambil kamera digital dari tanganku. Kali ini, ia memintaku untuk melepaskan pakaianku dan menggantikan posisinya untuk menggauli Misna. Dengan senang hati, aku melakukan permintaannya itu, karena memang itu yang sudah aku tunggu-tunggu dari tadi. penisku sudah terlalu keras untuk hanya sekedar melihat Rony menikmati vagina Misna.

Sementara itu, Rony ternyata juga meminta Ayah Misna untuk memanggil istrinya yang masih berada di ruang belakang menidurkan kedua adik Misna. Beberapa saat kemudian, kedua orang tua Misna keluar. Rony meminta mereka untuk juga melepaskan seluruh pakaian mereka. Dengan janji dan iming-iming uang Rp.2.000.000,- mereka dengan suka rela mengikuti semua permintaan Rony. Selanjutnya, Rony meminta Ibu Misna untuk berbaring dengan posisi yang sama di samping Misna, dan meminta Ayah Misna untuk menyetubuhi istrinya.

Terlihat dihadapanku, dua tubuh bugil –Misna dan Ibunya– mengangkang tanpa busana, siap untuk dinikmati. Sementara disampingku, juga berdiri Ayah Misna yang sedang melepaskan satu persatu pakaian yang menempel di tubuhnya. Rony benar-benar ingin berpesta dengan keluarga Misna malam ini. ku lihat Ayah Misna telah memasang posisi duduk di antara paha istrinya dan mulai mengarahkan penisnya ke lobang vagina istrinya yang ditumbuhi bulu yang sangat lebat. Beberapa saat kemudian, ia mulai memainkan penisnya keluar masuk di lobang vagina istrinya.

Seakan tertegun melihat pemandangan itu, tiba-tiba Rony menegurku dan memintaku untuk melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan orang tua Misna. Tanpa berpikir panjang, ku lepaskan seluruh pakaianku hingga tak ada sehelai benangpun yang tersisa. Kemudian ku posisikan penisku menghadap belahan di selangkangan Misna. Saat aku berniat memasukkan penisku ke lobang vaginanya, tiba-tiba aku melihat sebercak darah segar di sela belahan vagina Misna, yang membuatku berpikir bahwa Rony telah lebih dulu mengambil keperawanan gadis berusia di bawah umur ini. Namun demikian, aku tidak terlalu mengindahkan darah perawan yang mengalir di vagina Misna. Birahi yang sudah begitu berat tak tertahankan seakan lebih berkuasa pada diriku malam itu.

Dengan sedikit tekanan, aku bisa dengan mudah memasukkan kepala penisku ke lobang vagina Misna, sampai akhirnya penisku berhasil amblas di lobang itu. Keperawanan Misna memang sudah diambil oleh Rony, namun kenikmatannya lobang yang masih sangat sempit itu masih di sisakannya untukku. Dengan gerakan naik turun, aku nikmati setiap gesekan penisku di dinding vagina Misna. Semakin lama semakin semakin nikmat. Bibir Misna pun tak henti-hentinya membisikkan birahi ke dalam pikiranku. Setelah beberaapa saat aku memainkan penisku di lobang vagina Misna, ku rasakan lobang itu semakin basah, sehingga pergerakan penisku menjadi semakin mudah.

Sementara itu di sampingku, Ayah Risna terus menggencot vagina istrinya, seakan mengajakku untuk berpacu menuju puncak kenikmatan. Aku tak perduli dengan pemikiran itu, karena yang ku rasakan saat itu hanyalah desiran-desiran birahi yang terus menekan. Aku juga sudah tak perduli dengan Rony yang dari tadi terus mengambil fokus kameranya kepadaku dan orang tua Misna. Aku hanya terus menggenjot lobang vagina Misna hingga sisi terdalam yang bisa dicapai oleh penisku. Panasnya hawa birahi yang ku rasakan serta sempirnya lobang vagina Misna yang becek semakin membuatku mendekati area puncak kepuasan. Namun pada saat itu, tiba-tina Rony memintaku dan Ayah Misna untuk bertukar posisi.

Meski agak berat bagi Ayah Misna untuk menggauli anaknya sendiri, tetapi ia seperti tidak bisa menolak permintaan itu. Mereka juga sudah terlanjur menanda tangani perjanjian tak tertulis atas pesta seks malam ini. Sementara itu, aku sendiri juga merasa berat untuk menarik penisku dari lobang vagina Misna, karena birahiku sudah hampir mencapai puncaknya. Tetapi sesaat kemudian aku menatap wajah Ibunya Risna yang seakan tak rela membiarkan anak perempuannya harus disetubuhi oleh suaminya sendiri. Ketidakberdayaan sang Ibu itu membuatku berpikir untuk memberikan kepuasan kepadanya agar ia melupakan perasaannya.

Sementara Ayah Misna mulai memasukkan penisnya ke vagina anaknya, aku meminta Ibu Misna untuk berdiri. Selanjutnya aku berbaring dengan posisi terbalik dan meminta Ibu Misna untuk mengambil posisi 69. Memang terlihat agak canggung, tetapi akhirnya, ia bisa memposisikan tubuhnya untuk mengulum penisku. Sementara itu, aku tidak langsung memainkan lidahku di vaginanya, tetapi lebih dulu memainkan clitorisnya dengan jari-jariku. Sesekali ku masukkan jariku ke lobang vaginanya. Aku dapat merasakan besarnya dorongan birahi dan kenikmatan yang dirasakan oleh Ibu Misna dengan gaya 69 ini. Ku rasakan ia tidak bisa konsentrasi mengulum penisku, karena kenikmatan di vaginanya jauh lebih membuatnya terangsang.

Setelah puas memainkan vagina Ibu Misna dengan jariku, aku memeluk bokong Ibu Risna dan menariknya agar vaginanya bisa menempel ke bibirku. Dalam posisi itu, kemudian ku mainlah lidahku untuk membelai lembut clitoris yang tersembul kecil di antara belahan vaginanya. Jelas sekali ku rasakan Ibu Misna telah kehilangan konsentrasinya mengulum penisku. Yang bisa ia lakukan hanya membiarkan penisku dalam mulutnya dan terhengal merasakan sentuhan lidahku di vaginanya.

Sementara aku terus memberikan kenikmatan pada istrinya, Ayah Misna terlihat mulai memasuki putaran terakhir dalam fase pencapaian puncak kenikmatan hubungan. Mungkin karena lobang vagina Misna jauh lebih sempit, makanya dia tidak mampu menahan birahinya yang benar-benar memuncak setelah sebelumnya sudah dimulai di dalam vagina istrinya yang sekarang dalam pelukanku. Tak seberapa lama kemudian, Ayah Misna menarik penisnya keluar dari vagina anaknya dan menyemburkan sperma ke dada Misna. Ia tertegun beberaapa saat menghabiskan sisa-sisa sperma di ujung penisnya, dan selanjutnya menatapku yang masih memainkan lidahku di vagina istrinya dalam posisi 69.

Melihat keadaan itu, Rony menyerahkan kamera digitalnya kepada Ayah Misna dan memintanya untuk merekam moment selanjutnya dalam pesta ini. Dengan sedikit panduan Ayah Misna mulai belajar mengarahkan fokus kamera digital di tangannya. Dengan menyerahkan kamera kepada Ayah Misna, Rony kembali mengambil posisi yang sebelumnya diduduki oleh Ayah Misna, yaitu duduk di sela paha Misna. Tanpa ingin melakukan pemanasan, Rony langsung menghujamkan penisnya ke lobang vagina Misna dan mulai memainkan penisnya di vagina Misna. Pada saat itulah, aku mengakhiri aksi 69ku bersama Ibunya Misna, dan memintanya untuk kembali terlentang.

Setelah Ibunya Misna berbaring kembali dalam posisi terlentang, aku kembali mengambil posisiku di antara selangkangannya dan selanjutnya mulai menghujamkan penisku ke lobang vaginanya. Sebuah pengembaraan seksual mengajarkan bahwa vagina setiap wanita memang memiliki rasa dan aroma masing-masing… 😆 Vagina Ibu Misna memang tidak sesempit vagina Misna, tetapi gesekan di dinding vaginanya memberikan sensasi yang luar biasa bagi penisku. Apalagi jika merasakan adanya reaksi balik dari Ibu Misna yang seakan sangat berpengalaman dalam menarik birahiku dalam berhubungan. Ia pandang menggerakkan pantatnya di saat aku menggencot vaginanya, sehingga aku seakan dipaksa untuk mencapai klimak lebih cepat.

Pada saat aku mulai terhanyut dalam kenikmatan menuju puncak, tiba-tiba Ibu Misna mengejang dan lobang vaginanya seakan menjepit penisku. Aku tahu bahwa ia telah mendapatkan puncak kenikmatannya dari permainan penisku di vaginanya. Pada saat itu, aku juga hampir mendapatkan fase terakhir dalam kenikmatan ini. Sehingga aku menggenjotkan penisku lebih cepat di lobang vaginanya, dan pada detik-detik terakhir permainan, ku keluarkan penisku dari vaginanya dan bergegas ke arah Misna serta memintanya untuk mengulum penisku. tak seberapa lama berada di dalam mulutnya, spermaku pun memancar deras mengisi ruang dalam mulut Misna.

Beberapa saat kemudian, Rony pun sepertinya juga memasuki gerbang puncak kenikmatan. Dengan cepat dia cabut penisnya dari lobang vagina Misna dan duduk disamping Misna. Setelah meneteskan sisa-sisa sperma terakhir, maka ku keluarkan penisku dari mulut Misna dan Rony langsung menutup kembali rongga mulut Misna dengan penisnya serta memuntahkan spermanya juga di dalam mulut Misna.

Ayah Misna yang dari tadi terus merekam aktivitas seks kami, terlihat puas dengan berakhirnya permainan ini. Ia menyerahkan kembali kamera digital itu kepada Rony, dan berharap Rony menepati janjinya untuk memberikan uang Rp.2.000.000,- atas pelayanan seks yang mereka berikan malam itu. Tetapi sepertinya Rony belum selesai dengan agenda pestanya.

Ia mengambil kamera digital dari tangan Ayahnya Misna dan mengarahkan fokus kamera ke rongga mulut Misna. Rony meminta Misna menelan sperma yang berada di mulutnya. Meskipun Misna terlihat merasa agak jijik, tetapi akhirnya ia berhasil menelan sperma di mulutnya dan menunjukkan ke lensa kamera Rony bahwa ia sudah menelan sperma yang mengisi mulutnya.

Di antara lelah dan puas selepas mencapai puncak kenikmatan dalam pesta seks ini, Rony meminta Ibu Risna untuk kembali mengulum penis suaminya yang sepertinya sudah kembali siap untuk beraksi. Meskipun merasa agak kecewa karena mengira pesta telah usai, tetapi ia tidak menolak permintaan Rony untuk mengulum penis suaminya. Sementara Ibu Misna mengulum penis suaminya, Rony juga memintanya untuk memainkan jarinya di vagina Misna. Entah permainan apa lagi yang diinginkan Rony, tetapi yang pasti skenario ini telah berhasil membuat penis Ayah Misna kembali berdiri tegak.

*****

Jika ceritanya telah selesai saya posting, maka link “Click disini” akan aktif. 😀

Adik Kecilku, Perawanku

Dikirim oleh: Hendra di Semarang

Cerita ini ku tulis dan ku kirim ke admin blog ini, dengan persetujuan adikku. Dengan catatan tidak mengungkapkan nama dan tempat sebenarnya. sebut saja namaku Hedra dan nama adikku, Bunga (bukan nama sebenarnya pastinya…!!). Cerita ini adalah hubungan cinta tidak wajar antara aku dan Bunga, karena kami saudara kandung. Namun sejak awal ini terjadi, kami merasa cocok dan merasa saling memerlukan, terutama ketika hasrat ingin bercinta menggoda pikiran kami.

Wild Life Imagination
Adikku Perawan

Beda usiaku dengan Bunga, adikku, adalah 6 tahun. Sejak kecil aku dan Bunga memang sudah sangat akrab, karena Bunga lebih banyak tumbuh dan berkembang di dekatku daripada dengan orang tua kami. Kisah kami ini bermula ketika aku lulus SMA, dan Bunga lulus SD. Aku berniat melanjutkan sekolah ke Perguruan Tinggi Negeri di Ibukota propinsi, yang jaraknya lumayan jauh dari rumah tempat tinggalku.  Hal ini mengharuskan aku berpisah dari rumah orang tuaku dan mencari rumah kontrakan atau kost di Semarang.

Keadaan ini ternyata membuat Bunga sedih. Ia benar-benar merasa sangat kehilangan kakaknya yg sudah begitu akrab dengannya. Akupun juga sebenarnya demikian, namun mau bilang apa? aku tidak mungkin kuliah pulang pergi ke rumah orang tuaku yng berjarak sekitar 100 Km dari kampusku. Orang tuaku berhasil menenangkan Bunga dengan mengatakan bahwa Kakak akan selalu menjenguknya setidaknya sebulan sekali. Bunga yang masih tergolong anak kecil pun akhirnya bisa tenang.

*****

Singkat cerita, sudah sekitar 3 bulan aku tinggal di rumah kontrakan dekat kampusku. Bunga juga sudah melanjutkan sekolahnya di sebuah SMP di kota tempat tinggalku. Sesuai dengan harapan dan janji orang tuaku kepada Bunga, aku selalu pulang kampung setiap bulan. Tetapi pagi itu, Mamaku menelponku dan mengatakan akan memindahkan sekolah Bunga ke Semarang, di sebuah SMP yang juga tak jauh dari rumah kontrakan tenpatku tinggal.

Mendengar berita itu, aku merasa senang, dan sekaligus merasa ada beban yang harus aku tanggung atas adikku. Jika selama dengan orang tuaku, aku tidak pernah memikirkan mencuci pakaiannya, aku tidak pernah memikirkan untuk membuatkan sarapan pagi untuknya, dan rutinitas lainnya yang biasa dilakukan orang tuaku, kini itu akan menjadi kewajibanku terhadap Bunga, adikku. Tapi melihat pandangan orang tuaku, Bunga memang lebih baik berkumpul dengan kakaknya. karena mereka melihat Bunga tidak terbiasa berpisah denganku. Menurut mereka, Bunga terlihat sedih, ia kesepian, tak ada teman bicara dan bercanda jika ada di rumah, tak ada teman ngobrol saat menonton TV. Ku maklumi, memang sejak kecil, Bunga sudah sangat akrab denganku. Akupun suka sekali di dekat Bunga, karena ia anak yang pintar, cerdas dan periang.

Akhirnya, hari itu aku luangkan waktuku untuk beres-beres rumah, karena orang tuaku akan datang mengantarkan Bunga ke kontrakanku. Namanya juga rumah kontrakan, ruangan kecil dengan satu kamar tamu, kamar belakang yang kujadikan ruang tidur, dan dapur yang langsung terhubung dengan kamar kecil. Jadi aku harus menatanya untuk dua orang. Belum lagi dengan barang-barang keperluan adikku nanti, pastinya akan menambah kecil ruang gerak di rumah kontrakanku ini. Tapi tak apalah! Sekedar untuk tempat bernaung dari panas dan hujan dan melepas lelah, kecil tak jadi masalah. Tujuan kami ke sini pada dasarnya juga bukan untuk diam dan menetap di sini. Ini hanya tempat tinggal sementara kami menuntut ilmu jauh dari orang tua.

Siang itu juga, tak seberapa lama setelah aku beristirahat dari membersihkan rumah, Bunga dan kedua orang tuaku tiba di kontrakanku. Terlihat wajah lelah mereka seakan sirna ketika masuk pintu depan rumah kontrakanku, terutama Bunga. Ia berteriak memanggilku dan melompat ke pelukanku. Rupanya tadi mereka langsung ke SMP tempat Bunga akan meneruskan sekolahnya. Setelah istirahat beberapa saat sambil berbincang ringan, Sore itu orang tuaku langsung balik ke kota tempat tinggal kami. Mereka juga menitipkan Bunga bersamaku beserta beberapa pesan untukku untuk menjaga Bunga dan mengawasi pelajarannya. Mau tidak mau, aku harus menerima tanggung jawab itu, karena Bunga adalah adikku. Sementara Bunga, ia tidak begitu memperhatikan nasehat dan pesan orang tua kami. Ia hanya senyum dan mengiyakan pesan-pesan Mama. Ia hanya memikirkan, di sini ia bisa kembali bersamaku, Kakaknya yang dia sayangi.

*****

Di sinilah hubungan tak wajar antara aku dan Bunga bermula. dari sore hingga malam, kami hanya membereskan rumah, menyusun barang-barang bawaan Bunga di tempat-tempat yang seharusnya.  Malam itu sekitar pukul 20.30 malam. Aku memutuskan untuk menghentikan kegiatan kami. Sisanya biar besok siang saja dilanjutkan. Aku berpikir untuk mandi dan membersihkan diri, karena sudah seharian aku beres-beres, rasa gerah dan kotor ku rasakan di setiap bagian tubuhku.

Ku ambil handuk, dan kulilitkan di pinggangku untuk sekedar menutupi bagian kemaluanku, dan beranjak ke kamar mandi yang hanya berpintukan tenda kain. Saat aku mandi malam itu, dengan hanya diterangi oleh lampu bohlam 10 watt, aku jadi kepikiran untuk onani. Sambil menggosok dan membersihkan tubuhku dengan sabun mandi, aku akhirnya juga menyertakan mengosok kemaluanku yang sudah mulai tegang dengan sabun mandi. Di antara keasyikanku dengan aktifitas onaniku di kamar mandi, tiba-tiba aku dikejutkan dengan teriakan Bunga di pintu kamar mandi.

“Kakaaak! aku ikut mandi ya!!!” maksud Bunga mungkin memang hanya untuk mengejutkanku yang begitu asyik mandi, tetapi seketika itu juga Bunga terkejut, karena dihadapannya ada tubuh seorang lelaki yang bugil dengan penis yang sudah sangat keras mengacung. Apalagi ketika melihat aku yang begitu menikmati aktivitas onaniku, akhirnya terbalik, sekarang Bunga yang terkejut menyaksikan sesuatu yang mungkin baru pertama kali dilihatnya.

“Bunga! Kenapa kesini? Kamu ga lihat Kakak lagi mandi?”

“Maaf, Ka!” Setelah mengucapkan kata maaf itu, Bunga berlalu dari kamar mandi. Sementara aku tidak bisa lagi meneruskan onaniku, karena malu dan tak tahu materi apa yang harus akan ku bicarakan dengan Bunga untuk mengalihkan rasa maluku ini. Aku hanya berpikir itu urusan nanti, yang penting ku selesaikan acara mandi malamku meskipun dengan hasrat yang kesampaian.

“Sana mandi! Udah seharian ga mandi kan?” Kataku pada Bunga setelah aku keluar dari kamar mandi. Seketika itu pula Bunga membawa handuknya menuju kamar mandi. Aku berpikir, Bunga masih anak kecil, ia pasti tidak mengerti arti onani atau masturbasi, apalagi masalah hubungan seks.

Belum lagi aku selesai berpakaian, tiba-tiba Bunga muncul lagi di hadapanku. Dia menatapku dengan wajah memelas. Dengan sedikit mengerutkan keningku, ku coba bertanya:

“Ada apa lagi, Bunga?”

“Temani Bunga mandi, Kak! Bunga takut di kamar mandi sendiri…”

“ya ampun, Bunga!!! kamu kan sudah besar, masa masih ditemani Kakak sih?”

‘Iya! inikan rumah baru buat Bunga, lagian Bunga ga biasa mandi malam, lampunya juga ga terang….”

‘Ya sudah! Kakak temani… Sana ke belakang duluan, nanti Kakak nyusul. Kakak ganti baju dulu…”

Terlihat senyum kecil di bibir Bunga yang mungil, dan kembali beranjak dari tempat ia berdiri untuk ke kamar mandi. Sementara itu, aku bergegas mengenakan pakaianku, untuk menyusul ke belakang menemani adik kecilku mandi. Dari ruang tengah ini, aku bisa melihat tenda di kamar kecil tidak di tutup, kain penutup pintu kamar mandi terlihat digantungnya di sisi pintu. Itu artinya, aku memang harus ada di dekatnya untuk menemani aktivitas mandinya malam ini.

Setelah aku mengenakan baju dan celanaku, aku langsung ke belakang untuk menjemur handukku sekalian menemani Bunga mandi. Betapa terkejutnya aku, ketika tiba di depan pintu kamar mandi, Bunga sedang menggosokkan sabun di sekujur tubuhnya yang ternyata tidak ditutupi oleh sehelai kainpun. Aku hanya diam terpana, keinginan untuk bertanya ku urungkan karena ada semacam kekaguman melihat sesosok tubuh wanita kecil yang sedang bugil. Rambut sebahunya yang basah, tubuhnya putihnya yang berisi, payudaranya yang mulai tumbuh, serta permukaan bagian vaginanya yang terlihat menggembung dan belum ditumbuhi bulu. Aku merasakan sebuah birahi tersembunyi mulai berdesir ditubuhku, batang penisku pun sepertinya mengerti hasrat ini, ditambah lagi gagalnya pencapaian klimak dalam aktivitas onaniku tadi menambah kuat dorongan birahiku.

Hal yang lebih mengejutkanku adalah Bunga sepertinya juga melakukan aktivitas masturbasi di sela aktivitas mandinya, tetapi dia sepertinya tidak malu melakukannya meskipun aku ada dan mengawasi aktivitas mandinya. Aku melihat ia menggerakkan telapak tangannya di kemaluannya dan sepertinya ia memainkan jarinya di belahan vaginanya. Jantungku berdebar kencang, aku ingin menegurnya, tetapi entah kenapa aku seakan tak sanggup untuk mengatakannya. Gejolak antara perasaan seorang Kakak yang tak seharusnya membiarkan adiknya melakukan kesalahan, dan perasaan seorang laki-laki yang sedang terbius birahi, membuatku bingung untuk bertindak.

Aku terus saja membiarkan adikku melakukan masturbasi di hadapanku, sementara dia juga sepertinya begitu menikmati aktivitas masturbasinya. Semakin lama, ia semakin cepat memainkan jarinya di belahan vaginanya, dan bahkan terlihat akan mencapai klimak. Dalam kebingunganku antara perasaan seorang Kakak yang harus mengarahkan adiknya dan perasaan seorang pria yang sedang dilanda birahi, akhirnya dari ruang bawah sadarku, sebuah kata keluar dari mulutku:

“Bunga!” demikian panggilku setengah berteriak. Bunga tersentak dan menatapku tajam penuh tanya. Melihat Bunga menatap ke arahku dan menghentikan aktivitasnya, aku tersadar bahwa aku baru saja berteriak memanggil namanya. Dalam perasaan keKakakan yang terungkap di bawah alam sadarku kelelakianku, aku bingung memilih kalimat apa yang bagus untuk kuungkapkan pada gadis kecilku yang masih begitu polos ini. disela tatapan diamnya, ku coba menarik nafas panjang dan mengehmbuskannya kembali untuk sekedar memulai berpikir cepat dalam memilih kata. Aku beranjak dari tempat ku berdiri mengawasinya dan melangkah mendekati Bunga, kemudian aku duduk di depan tubuhnya kecil bugil yang mulai membentuk keindahan wanita, lalu pegang bahunya yang masih berlumur sabun, seraya berkata lembut padanya:

“Bunga! Jangan memasukkan jari ke kemaluan ya!”

“Tidak, Kak!” bantah Bunga dengan cepat.

“Bunga ga memasukkan jari ke kemaluan kok.! Bunga hanya mengosok-gosoknya saja! Bunga masih perawan kok, Kak!”

“Kakak tanya, kenapa Bunga melakukan itu?”

“Enak, Kak!” begitulah jawaban singkat gadis kecilku yang polos ini. ku tatap matanya dalam-dalam. Entah mau marah dan menjelaskan apa maksud kenikmatan yang dirasakannya itu atau membiarkannya saja dengan kepolosannya itu. Sesaat kemudian aku tersenyum, dan ku peluk tubuh kecil berlumur sabun itu. Aku sadar, pakaianku menjadi basah dengan memeluk Bunga, tetapi entah dorongan dari mana, aku membalik tubuh Bunga dan memeluknya dari belakang. Tangan kananku ku tempelkan di payudaranya yang masih ranum dan hanya memiliki sebuah puting kecil sebagai penunjuk puncak payudaranya, sedangkan tangan kiriku aku lingkarkan di perutnya hingga telapang tanganku menyerusup di sela pahanya. Sebuah tuntutan dari dalam diriku memaksaku untuk memasukkan jari tengahku di belahan vagina Bunga yang sangat sempit, kencang dan kenyal, namun sudah licit dengan busa sabun.

Bunga menerima perlakuanku terhadapnya dan bahkan ia terlihat menikmatinya. Desah nafasnya terasa naik turun mengikuti irama gerakan jariku di belahan vaginanya. kedua tangannya berpegang erat di tanganku yang meremas payudaranya, dan memainkan klitoris yang bersembunyi di belahan vaginanya. Seolah-olah ia memberikan perintah untuk melakukannya lebih kuat. Naluri yang membatin antara kami seakan membuatku mengerti dengan perintah dari hasrat kami masing-masing. Akhirnya, ku coba untuk meremas payudaranya lebih kencang dan sesekali ku ganti antara kedua payudaranya itu.

Kami berdua seolah terhanyut dalam nikmatnya hubungan tak wajar itu. Semakin lama, semakin terlihat bahwa Bunga sangat menikmati perlakuanku hingga akhirnya, tubuhnya mengejang kuat, sehingga beberapa saat kemudian dia memintaku untuk mengehnatikan perlakuanku terhadapnya. Aku mengerti bahwa Bunga sepertinya telah mencapai klimak kenikmatan yang diharapkannya dengan masturbasinya itu. Kemudian ia meneruskan mandinya, sementara aku harus melepaskan pakaianku yang basah dan mengulang kembali mandi malamku.

*****

Setelah Bunga menyelesaikan mandinya, ia pun melilitkan handuknya untuk membalut payudara kecil yang mulai terbentuk di dadanya. Sementara itu, aku harus mengulang kembali mandiku. Bunga beranjak dari kamar mandi menuju ruang tengah. Sambil membersihkan diri, aku berpikir, apa yang telah aku lakukan pada adikku. Dalam diam aku berpikir, apakah ini benar atau salah, aku tidak tahu. Aku terhimpit oleh dua posisi, antara status sebagai Kakak dan sebagai pria dewasa. Hingga aku menyelesaikan mandi malamku, aku tak menemukan jawaban untuk pertanyaan yang membatin itu.

Pikiran-pikiran dan sejuta pertanyaan di kepalaku itu terhenti saat aku baru sadar bahwa aku tidak membawa handuk ke kamar mandi. Ku pangil Bunga untuk minta tolong menganbilkan handuk yang aku gantung di belakang. Ku lihat Bunga yang telah mengenakan BHnya namun masih terbalut handuk melangkah kembali ke belakang untuk mengambilkan handukku. Sesaat kemudian, ia menyerahkan handukku yang masih terasa basah kepadaku.

“Ini, Kak!”

“Ya! Makasih ya!”

“sama-sama!” Jawaban adikku ini ternyata tidak mengakhiri pembicaraan di pintu kamar mandi kali ini. Ia masih terdiam menatapku. Akupun bertanya dalam hati dan hampir menyalahkan diriku atas apa yang terjadi. Satu-satunya kata yang ingin ku ucapkan, jika memang harus, adalah kata “Maaf”. tetapi ternyata yang terjadi tidak seperti yang aku pikirkan. Aku sangat terkejut, ketika sepatah kata terlontar dari bibirnya:

“Kakak ga pingin enak?”

“Maksud Bunga?”

“Ya! maksud Bunga, menyelesaikan masturbasi Kakak!”

“ah! udah ga mud….”

Mendengar jawabanku itu, Bunga menggenggam tanganku dan menarikku hingga ke ruang tengah. Ia kemudian melepaskan kembali handuk yang membalut tubuhnya, sehingga aku bisa melihat bahwa selain telah mengenakan BH, ia juga telah mengenakan celana dalam yang serasi dengan BHnya. Ia berdiri tegak menatap ke arahku, kemudian mendekatiku dan langsung melepaskan handuk yang terbaluk di pinggangku. Kembali tubuhku bugil karena handuk sebagai satu-satunya penutup tubuhnya dilucutinya. Tanpa perintah, ia memegang penisku dan mencoba mengocoknya. Namun karena penisku sudah kering, ia kesulitan mengocok. Dengan beraninya ia tiba-tiba meneteskan air liurnya penisku, sehingga ia bisa lebih mudah mengocoknya.

Sepertinya kondisi sekarang berbalik, sekarang giliran adikku mencoba memuaskanku, setelah sebelumnya ia berhasil menemukan klimaksnya dengan bantuanku. Ku lihat ia terus mencoba merangsangku dengan mengocoknya. Beberapa kali menjatuhnya air liurnya ke penisku karena air liurnya kering dan kesulitan mengocok penisku yang sudah mulai menegang kembali. Tanpa aku sangka, ia kemudian melakukan sesuatu yang diluar dugaanku. Ia justru memasukkan penisku ke mulutnya dan menggoyang-goyangkan kepalanya maju mundur, sehingga penisku terbasahi sempurna.

Apa yang dilakukannya benar-benar telah membuatku melupakan statusku sebagai Kakak kandungnya. Ia terus mengulum penisku, sementara penisku pun terus membesar dan mengeras tegang. Sementara ia melakukan aktivitas itu, kedua tangannya memegang lenganku dan menarikku untuk turun, aku mengikut saja dalam irama birahi yang dimainkannya. Ia menarikku untuk berbaring di tempat tidur, aku terus mengikuti iramanya saja, agar senada. Hingga dalam posisi terlentang di tempat tidur, Dunga kembali mengulum penisku.

Semakin jauh aku masuk ke dalam kenikmatan ini, semakin aku membiarkan jiwa lelakiku yang menguasai tubuhku. Selain irama yang dimainkannya di penisku, jiwa lelaki dalam tubuhnya pun mulai ikut memberikan instrumen yang menambah nikmat birahiku. Aku mulai menggerakkan penisku maju mundur di mulutnya, dan kedua tanganku mulai merengkuh rambut basah di kepalanya. Tak sempat lama aku masuk dalam irama ini, Bunga berdiri dan melepaskan BH dan CDnya. Kemudian ia mengambil posisi yang hanya ada dalam pikiran nakalku. Aku sama sekali tidak menyangka, Bunga akan melakukan permainan ini padaku sebagai Kakaknya. Ia mengambil posisi di atas tubuhku yang berbaring terlentang dan memegang batang penisku yang telah keras menegang dan mengarahkannya ke belahan vagina perawannya itu.

Dalam gelombang birahi yang telah membuatku tak berdaya mengontrol pikiran sehatku, aku hanya membiarkan Bunga mencoba memasukkan penisku ke belahan vaginanya. Entah lobang vaginanya yang masih terlalu sempit, atau hanya masalah kesat saja, sehingga ia belum berhasil melesakkan penisku ke belahan sempit di sela pahanya itu. melihat usahanya itu, dan mengingat birahiku yang sudah tak terkendali, ku tarik lengan Bunga dan membaringkannya terlentang di sisiku. Seketika itu pula aku mengambil posisi di atas, kemudian ku coba membasahi belahan vagina Bunga dengan memainlah lidah dan air liurku di belahan kenikmatan itu.

Ini pertama kalinya aku menjilat vagina dalam hidupku, dan ini pertama kali juga aku menyadari bahwa daging kenyal di pangkal paha adikku ini ternyata telah ditumbuhi oleh bulu kecil. Dalam hempasan birahi yang sudah begitu dahsyat, aku mulai menikmati permainan lidahku di belahan vagina adikku. Dalam dorongan birahi itu pula, aku mencoba membuka belahan sempit itu dengan jari-jari tanganku. Akhirnya aku bisa melihat langsung, seperti apa bagian dalam daging gembul itu melalui belahannya yg ada di sisi bawah.

Aku melihat Bunga, kembali masuk dalam alam birahinya, hengal-hengal nafas mulai mengencang, desah suara rintihan kecil mulai berbisik di bibirnya. Sebelum ia masuk ke lembah klimak, akhirnya aku putuskan untuk berhenti menjilat i vagina Bunga, dan bermaksud mengakhiri permainan ini dengan klimak pada ujung penisku.  Dengan sedikit merubah posisi, aku bentangkan paha Bunga selebar mungkin, dan ku arahkan kepala penisku di belahan vagina mungil yang aku tidak tahu apakah akan muat atau tidak. Dorongan nafsu birahi ini telah membuatku melupakan pikiran-pikiran yang justru hanya akan mengganggu kenikmatan menuju akhir permainan ini.

ku pegang penisku yang sudah menengang keras dan ku elus-eluskan di belahan vagina Bunga, perlahan ku paksakan untuk menyeruak masuk mengendap ke belahan yang masih sangat sempit itu. Terasa jelas vagina Bunga sudah sangat basah, kepala penisku pun semakin mudah bergerak di belahang sempit itu. Terus dan terus ku coba memainkan nada-nada akhir irama permainan birahi ini. Lobang kecil dalam vagina Bunga sudah bisa ku rasakan. Ku coba memasukkan kepala penisku ke dalamnya, meskipun terkesan memaksakan. Perlahan tetapi pasti, akhirnya kepala penisku bisa masuk ke lobang kecil itu. Dengan begitu, aku berpikir bahwa Vagina adikku sudah bisa menyesuaikan dengan ukuran penisku, sehingga aku anggap ia sudah siap dengan akhir permainan untuk mecapai klimak.

Aku posisikan tubuhku agar bisa memberikan tekanan kuat ke lobang sempit itu. Aku paksa untuk terus memasukkan penisku menuju ujung lorong vagina Bunga . Erangan sakit dalam nikmat bisa ku rasakan dari raut di wajahnya dan gerakan tangannya yang mencoba menahan perutku. seketika itu pula aku tarik sedikit penisku dari lobang vagina Bunga, untuk kemudian ku dorong kembali. Semakin lama, batang kemaluanku semakin amblas di lobang kecil yang begitu sempit itu, hingga akhirnya seluruh batang kemaluanku tenggelam dalam lobang kenikmatan itu.

Aku mulai memainkan iramanya, ku tarik penisku hingga hany tertinggal kepala penis yang masik berada dalam vagina Bunga, lalu aku dorong kembali hingga tenggelam sepenuhnya. Semakin lama, tempo permainan semakin ku percepat, semakin cepat dan semakin cepat. Ada sebuah kenikmatan yang tidak pernah ku dapatkan dari beronani, kenikmatan seks yang sebenarnya yang ternyata harus aku awali dengan adik kandungku sendiri yang masih sangat belia.

Titik keringat membasahi tubuhku dan tubuh Bunga, menitik ke seprai tempat tidur mengikuti hentakan-hendakan akhir pencapaian klimaks. Ku peluk erat tubuh kecik adikku sambil terus mempercepat tempo permainan di belahan vaginanya. Berkali-kali Bunga bergetar kejang, apakah itu tanda pencapaian klimaksnya atau hanya ingin memberi nada kenikmatan untukku. Sementara itu, aku mulai merasakan getaran-getaran kuat dalam tubuhku. ku sadari aku akan tidak akan bisa menahan semburan spermaku yang seolah sudah bergumpal di ujung penisku. Dalam kenikmatan yang tak terbayangkan, aku tak sanggup untuk melepaskan penisku dari lobang vagina Bunga yang seakan begitu mesra meremas penisku. Aku terus mengocok lobang vaginanya dengan batang penisku tanpa sempat berpikir akibatnya.

Di ujung pencapaian klimaxku, ku tidak bisa lagi merasakan apa-apa. Yang ada dalam pikiranku, aku harus mencapai titik kepuasanku dan mengakhiri permainan ini di dalam lobang vagina adikku. Hingga akhirnya tekanan yang terasa sudah begitu menggumpal di pangkal penisku, mulai bergerak cepat menuju ujung penisku, seiring dengan itu aku hendakkan peniskku agar tenggelam sempurna di lobang vagina Bunga. Dalam hentakan terakhir itulah akhirnya air spermaku menyembur di ujung kepala penisku yang tenggelam sempurna di lobang vagina adikku.

Aku terus menekan penisku di posisi terdalam dari lobang vagina Bunga, dan membiarkan semburan-semburan spermaku mengisi ruang dalam vagina Bunga. Sambil kembali mengatur nafas kami yang tersengal, sambil melepaskan lelahnya mencapai puncak kenikmatan, aku merasakan penisku yang masih tenggelam dalam liang vagina Bunga mulai mengecil dan semakin lemas. Dapat ku rasakan bahwa lobang vagina Bunga benar-benar masih sangat sempit bahkan untuk ukuran terkecil dari penisku. Akhirnya, ku lepaskan penisku dari vagina Bunga dan ku hempaskan tubuhku yang lelah dan basah di samping tubuh adikku Bunga yang malam ini menjadi persinggahan pertama pemuas kenikmatan dunia.

Surga Dunia….

Dikirim oleh: Bunda di Balikpapan

Hal pertama yang ingin ku katakan sebelum aku menulis kisah di sini, adalah “Tolong kiriman saya ini dimuat ya!” Sebuah harapan besar ini ku tulis di awal, karena kisah yang akan ku paparkan ini bukan imajinasi semata, tetapi pengalaman malam pertamaku. Kisah ini ku beri judul “Surga Dunia” karena yang ku rasakan memang benar-benar Surga dunia, yaitu suatu perasaan yang sangat sulit digambarkan hanya dengan kata-kata. Oleh karena itulah dalam kisah ini, aku berusaha menulisnya sebaik mungkin agar kesan surga dunia yang ku sajikan dalam kata-kata sedikit banyaknya juga bisa menggambarkan keadaan surga yang ku rasakan pada malam pertama perkawinanku.

Wild Life Imagination
Surga Dunia

Usiaku sekarang adalah 35 tahun. Saat ini aku telah memiliki 2 orang putri yang cantik-cantik, namanya Nesya (5 tahun) dan adiknya Lesya (7 bulan). Aku menikah pada usia 29 tahun hampir 30. Untuk ukuran masyarakat di daerahku, usia itu sudah bisa dikatakan terlambat untuk menikah, karena pada umumnya remaja di sini menikah pada usia 20 hingga 25 tahun.

Kekhawatiran akan menyandang gelar perawan tua begitu menghantuiku sejak aku memasuki usia 25 tahun, karena hingga usia tersebut, aku belum pernah punya pacar, seperti umumnya teman-teman seusiaku. Aku memang bukan seorang gadis yang cantik, putih dan menarik. Perawakanku kurus dan tinggi 175cm. Payudaraku dan pantatku bisa dikatakan kurang berisi, sehingga sebagai seorang gadis dewasa, aku kadang merasa minder dengan keadaan fisikku di antara teman-temanku. Perasaan itu sering ku tepis dengan berusaha membenahi diri dari sisi yang lain. Saat sekolah aku selalu dapat ranking, saat kuliah aku berhasil mendapatkan nilai komulatif Cumlaude. Selepas kuliah, aku di terima di sebuah perusahaan asing.

Di balik rasa pesimis dan minder dengan kondisi fisikku yang boleh dikatakan kurang menarik, aku masih mempunyai satu keyakinan bahwa jika memang ada jodoh untukku, suatu saat nanti dia akan datang menjemputku. Keyakinan yang tertanam di hatiku itu bukan tanpa godaan. Saat malam dingin menyelimuti tubuhku, rasanya aku ingin tidur dan bermimpi yang indah-indah, tetapi mataku tak bisa terpejam begitu saja. Kekhawatiran akan menyandang status perawan tua selalu mengiang-ngiang di pikiranku. Belum lagi hasrat biologis sebagai wanita dewasa yang kadang membuatku ingin melakukan masturbasi.

Jujur saja, sebelum aku menikah, kegiatan masturbasi sebelum tidur adalah sebuah rutinitas wajib, aku memainkan klitoris yang ada di belahan vaginaku dengan jariku. Saat sedang berhasrat, aku kadang ingin memasukkan jariku ke lobang vagina, tetapi hal itu tidak pernah terjadi karena ketakutan akan rusaknya keperawanan yang mungkin akan berakibat pada kekecewaan seseorang yang akkan menjadi suamiku kelak.

di tempat kerja pun banyak sekali godaan yang ku rasa. Sebagai seorang karyawati di perusahaan asing, aku sudah terbiasa berhadapan dengan orang-orang bule. Saat dalam pekerjaan, yang terlihat hanya profesionalitas, namun di luar itu aku tidak menemukan arah pembicaraan mereka selain masalah seks. Kadang mereka juga mengajakku untuk masuk dalam pembicaraan mereka, dan bahkan sempat ada yang mengajakku ikut dalam sex party yang diadakan di rumah salah satu dari mereka.

“You never know if you never feel, Babe..!! How long will you keep your virginity? It’s not important anymore rightnow!”

Jika melihat godaan tersebut, rasanya akupun ingin merasakan seks yang sebenarnya, peduli anat dengan keperawanan. Toh teman-temanku juga biasa melakukannya tanpa ada beban dengan masalah keperawanan. Aku kadang berpikir membenarkan, sampai kapan akan ku jaga keperawananku? Jika aku menjadi perawan tua, masih pentingkah keperawanan itu? pertanyaan-pertanyaan menggoda seperti itu kerap masuk ke pikiranku. Tetapi kembali pada hatiku, aku begitu yakin bahwa suatu hari nanti, akan ada seseorang yang mau dan menerimaku dengan apa adanya… 😥

******************

Di antara godaan dan kekhawatiran yang begitu berkecamuk dalam jiwaku, tiba-tiba datang seorang laki-laki datang ke rumahku dan mengajukan lamarannya pada Ayahku. Aku begitu terkejut, ketika Ibuku menyambutku pulang kerja dengan senyum dan bertanya padaku.

“Sayang! Kamu kenal Budi?”
“Iya! Kenapa, Bu?”
“Tadi siang orang tuanya ke sini…!”
“He’eh! terus?”
“Mereka menunggumu….!”
“Menungguku? Ada urusan apa? Mereka masih di dalam?”
“Tidak! Mereka sudah pulang….”
“Ada urusan apa, Bu?”
“Mereka menunggu jawaban darimu…”
“Jawaban apa?”
“Rendy mau melamarmu, Sayang! Sekarang tinggal kamunya aja, menerima atau tidak lamaran mereka…”

Aku benar-benar terkejut mendengar kata-kata Ibuku itu. Rasanya aku ingin memeluk Ibu saat itu juga untuk mengungkapkan betapa bahagianya aku. Sesuatu yang begitu ku harapkan datang tanpa pemberitahuan. Wajahku memerah karena malu namun berusaha aku tutupi dengan tetap berusaha tersenyum pada Ibu.

“Ah Ibu! Kenapa harus menunggu aku yang jawab sih, Bu!? Kan Ibu bisa…”
“Kalau Ibu yang jawab, akan Ibu tolak!”
“Kok…………!!?” Dalam benakku, kenapa Ibu tidak mengerti keinginanku yang begitu besar untuk memiliki seorang pasangan hidup? di saat kegembiraan begitu menyeruak di hatiku, kenapa Ibu tega menolaknya? Wajahku yang saat itu sempat memerah karena malu, sekarang berubah biru, karena rasa tidak ada darah lagi yang mengalir ke kepalaku. Tetapi Ibu malah tersenyum, dan selanjutnya dia menarik tanganku dan berkata:

“Kalau Ibu terima, Ayahmu dikemanakan?”
“Ah Ibu…!!!” Akhirnya tak bisa lagi ku tahan kegembiraanku, aku tak kuasa untuk tidak memeluk Ibu yang begitu mengerti dengan kegelisahanku dalam penantian seorang lelaki yang akan mendampingi hidupku seperti gadis-gadis lain seusiaku yang sudah berkeluarga semua, bahkan ada yang telah beberapa kali menikah….

*********************

Ringkas cerita, akhirnya hari pernikahan itu tiba juga. Aku menjadi ratu di pelaminan didampingi Budi yang dulu adalah sainganku di kelas waktu masih SMP. Namun saat melanjutkan SMA ternyata dia harus ke Jakarta karena usaha orang tuanya di sini gulung tikar. Budi juga bukan cowok romantis yang senang mengoda wanita, sewaktu di SMP aku hanya mengenalnya dengan buku dan perpustakaan. Jarang aku bisa bertemu dengannya di kantin sekolah. dan sekarang ia telah sah menjadi suamiku.

Aku tak bisa berbicara masalah cinta, karena Budi sebenarnya bukan tipe yang ku cari. Aku lebih suka lelaki yang senang merayu, menggoda dan menyanjung, dan memiliki selera humor yang baik. Tetapi di sisi lain, Budi setahuku adalah anak yang pintar, karena saat SMP, dia adalah pesaing beratku untuk mendapatkan ranking di kelas. Tapi lupakan dulu masalah idealisme, yang pasti dengan kehadirannya di sisiku, aku telah melepaskan satu beban yang begitu memberatkan pundakku, yaitu sebuah kekhawatiran akan menjadi perawan tua akhirnya bisa berakhir sejak ia datang melamarku.

******************

Bersambung….

Terlalu Dini Mengenal Cinta

Cerita Sebelumnya…. (Bodohnya Aku)

Malam tak terasa telah menyelimuti suasana rumahku. Indahnya bercinta dengan wanita yang ku damba benar-benar telah membuatku melupakan segalanya. Sementara itu, hujan masih belum berhenti menyirami bumi, meskipun tidak selebat tadi sore saat kami tiba di rumahku. Dalam lelahnya selepas bercinta, Lia yang menatap langit-langit rumahku sepertinya sudah memulai ceritanya…..

“Seperti inilah yang ku lakukan sejak aku duduk di bangku sekolah dasar, In..!” Mendengar awal ceritanya itu, aku benar-benar terkejut. Aku berpikir, ternyata di balik kecantikan Lia yang begitu dingin dan anggun, ternyata tersimpan sisi gelap kehidupan.

“Oops! gimana ceritanya?”

“Peluk aku, In..!” seraya memiringkan tubuhnya ke arahku memintaku untuk memeluknya. Dengan serta merta ku peluk tubuh mulus dan indah itu seperti harapannya. Seakan-akan ia menemukan kedamaian saat berada dalam pelukanku. Selanjutnya di tempat tidur inilah Lia memulai memaparkan sebuah rahasia kehidupannya yang begitu gelap.

********************

 

Dikirim oleh Indra di Lampung

Malam itu Lia menceritakan semuanya kepadaku tentang rahasia kehidupan pribadinya yang disimpannya sendiri sampai sebelum ia menceritakannya padaku. Ku kirim cerita ini karena aku berat rasanya untuk menyimpan rahasia wanita terdekatku sendiri. Walau pun hanya berupa tulisan, setidaknya aku merasa lega bisa berbagi beban meskipun dengan bahasa yang berbeda.

********************

Lia adalah anak pertama dari 3 bersaudara. Lia juga satu-satunya anak perempuan dari pasangan Slamet dan Mariana. Kedua andiknya bernama Dana dan Amy. Mereka adalah keluarga sederhana yang tinggal di sebuah desa di Kecamatan xxxxxxxxx. Awalnya kehidupan Lia dan keluarganya cukup bahagia, sampai saat melahirkan adiknya yang keduanya, Amy, Ibunya meninggal dunia. Sejak saat itu kehidupan mereka seperti tidak lagi seperti sebelumnya, terutama bagi Lia. Di sinilah awal cerita kehidupan Lia yang ia ceritakan kepadaku.

Pada saat itu, Lia baru berusia 10 tahun. Ia baru duduk di bangku kelas 4 SD waktu itu. Adiknya yang pertama, Dana baru berusia 4 tahun, dan si kecil Amy, yang harus memulai hidup tanpa sempat mengenal dan merasakan kasih sayang seorang Ibu. Ayahnya adalah seorang Guru di sekolah dasar, yang mana di tempat itu pulalah Lia bersekolah. Jadi, saat sekolah Lia biasa ikut Ayahnya naik motor. Sementara itu, setiap pagi, Dana dan Amy harus dirawat dan diasuh oleh tetangga mereka. Jika Lia dan Ayahnya sudah pulang dari sekolah, barulah mereka kembali yang menggantikan tugas merawat Dana dan si kecil Amy.

Dari keadaan ini, awalnya saya tidak melihat ada pola kehidupan yang janggal. Semua terlihat normal saja. Lia dan keluarganya juga beruntung hidup di lingkungan yang masih peduli dalam hidup bertetangga. Namun cerita Lia selanjutnya benar-benar membuatku terperanjat. Dalam usianya masih tergolong anak-anak, ia telah diminta oleh Ayahnya menggantikan fungsi Ibunya, mulai merawat dan menjaga adik-adiknya, memasak, membersihkan rumah, hingga urusan dalam kamar Ayahnya. 😳 …. Maksud saya, yaitu Lia juga melayani Ayahnya dalam berhubungan intim, mengganti fungsi Ibunya.

Menurut Lia, pada awalnya ia menganggap itu hal itu wajar. Karena ia adalah satu-satunya anak perempuan dalam keluarga itu, sekaligus juga anak tertua, jadi ia menganggap bahwa menggantikan pekerjaan Ibunya yang telah meninggal memang menjadi kewajibannya.

Penjelasan Lia itu membuatku bertanya, bagaimana Ayahnya bisa melakukan itu padanya? Lia menceritakan semuanya dari awal kejadiannya, kenapa ia sampai menggantikan fungsi Ibunya secara total sejak usia yang masih terlalu muda.

Rumah Mereka memang tidak terlalu besar, hanya terdiri dari ruang tamu, ruang makan, 2 kamar tidur, dan dapur. Kegiatan mencuci, mandi dan buang air, semuanya dilakukan di sungai yang kebetulan berada di belakang rumah Lia. Kamar tidur yang berada di depan, pada awalnya adalah untuk Lia dan adiknya, Dana. sementara kamar belakang di belakang adalah kamar tidur orang tuanya. Lia dan Dana memang sudah dibiasakan mandiri sejak kecil, sehingga untuk urusan tidurpun sejak kecil mereka sudah dipisahkan dari orang tua mereka.

Semenjak si kecil, Amy lahir, susunan kamar berubah. Dana tetap di kamar tidur yang berada di depan, -meskipun pada awalnya ia tidak mau, namun karena diberikan pemahaman tentang arti kemandirian, akhirnya ia bisa terima–, sementara Lia dan si kecil Amy, tidur di kamar Ayahnya. Kata Ayahnya, sebagai pengganti Lia tidak apa-apa tidur dengan Ayah. Lia memahami kata-kata Ayahnya itu sebagai tanggung jawab sebagai anak perempuan sekaligus sebagai anak tertua. Meskipun demikian, pada awalnya Lia tidak tidur satu ranjang dengan Ayahnya. Ia tidur di kasur yang diletakkan di dekat tempat tidur si kecil Amy.

Awal kejadiannya terjadi, sekitar satu bulan setelah Ibunya meninggal. Lia akhirnya juga harus menggantikan fungsi Ibunya untuk melayani Ayahnya di tempat tidur. Pada saat itu, terjadi percakapan antara Lia dan Ayahnya setelah Lia menidurkan Amy, adik kecilnya.

“Lia!”

“Ya, Yah!”

“Amy sudah bobo?”

“Sepertinya sudah.”

“Lia! sini Ayah mau bicara?”

“Iya, Yah! Ada apa?”

“Kamu kangen nggak sama Ibu?”

“Ya iyalah! Lia kangen…”

“Ayah juga kangen, Sayang!”

“Rasanya beda antara ada Ibu dan tidak ada Ibu. Lia dapat merasakan betapa lelahnya Ibu memelihara Lia dulu…”

“Lia! Sebagai anak perempuan tertua, kamu jelas merasa lelah memelihara adik-adik kamu. Tetapi coba kamu lihat Ibumu. Dari kamu kecil hingga sebesar ini, kemudian ia merawat adik kamu Dana. Dia tidak pernah mengeluh seperti Lia…”

“Iya ya, Yah! Lia ingin seperti Ibu.”

“Lia! Ayah suka sama Lia, karena Lia sudah menjalankan fungsi Ibu kamu dengan baik. Tetapi ada satu hal antara Ayah dan Ibu yang belum Lia ketahui, mengapa Ibumu tidak pernah merasa lelah menjaga, memelihara dan membesarkan Lia dan Dana…”

“Apa itu, Yah!”

“Ini rahasia Ayah dan Ibu, Sayang…!!”

“Ayah curang! Lia kan juga ingin seperti Ibu… selalu tersenyum meskipun merasakan lelahnya menjaga kami dulu..”

“Dengar, Sayang! Ini adalah rahasia Ayah dan Ibu, dan ini rahasia semua orang tua…. Jika Ayah ceritakan ini ke Lia, Lia harus janji untuk menjaga rahasia ini dalam hati sampai mati seperti Ibumu.”

“Lia janji!”

“Bener janji..!!”

“Bener! Lia janji..!!”

Begitulah Lia menceritakan padaku bagaimana awalnya hingga ia menjadi anak perempuan tertua yang sekaligus menggantikan fungsi Ibunya secara total. Kemudian aku bertanya, bagaimana rasanya saat itu? Bagaimana ia harus melepaskan kegadisannya dalam usia yang masih sangat muda.

Keinginan Lia yang besar untuk bisa mencontoh Ibunya yang sabar merawat anak, membuatnya siap melakukan hal yang dikatakan oleh Ayahnya. Saat pertama itu, Ayahnya tidak langsung melakukan hubungan intim dengan Lia. Ia hanya memperkenalkan fungsi alat kelamin masing-masing. Bagaimana nikmatnya saat alak kelamin itu disentuh dan disatukan. Saat pertama kali itu, Lia  diminta mengocok penis Ayahnya dan diperlihatkan bagaimana kenikmatan dan kepuasan pria saat sperma kemancar dari alat kelamin. Lia diberikan bayangan bahwa seperti itulah saat penis masuk ke lobang senggama Lia.

Lia juga diperkenalkan oleh Ayahnya kenikmatan hubungan yang bisa dirasakan oleh Lia. Ayahnya menyentuh belahan vagina Lia dan memainkan klitorisnya dengan hati-hati. Lia menghayati permainan itu dengan rasa tanggung jawab, sehingga ia akhirnya juga mendapatkan kenikmatan dari permainan jari yang dilakukan Ayahnya. Betapa dalam usia yang masih tergolong masih anak-anak, Lia telah berhasil menemukan kenikmatan yang hanya dirasakan oleh orang dewasa. padahal saat itu, ia belum pernah menstruasi. Ayahnya rupanya sangat jago dalam mengajari anak-anaknya, termasuk dalam hal bercinta.

Malam berikutnya, setelah Lia menidurkan si kecil Amy. Mereka kembali melakukan hal yang sama. Namun kali ini, bukan hanya sebatas clitoris yang diajarkan Ayahnya, tetapi Lia mulai diberikan contoh bagaimana rasanya jika penis masuk ke lobang vaginanya. Ayahnya memasukkan jarinya ke lobang vagian Lia dengan hati-hati dan perlahan. Lia juga berusaha merespon itu sebagai pelajaran awal, sebelum ia masuk pada pelajaran inti, yaitu masuknya penis ke lobang vaginanya.

perlahan tetapi pasti, jari Ayahnya berhasil tenggelam di vagina Lia. Sesaat kemudian, Ayahnya mulai memainkan jarinya di lobang vagina Lia. Menurut Lia, ia tidak merasakan sakit saat itu. yang ia rasakan hanya perasaan nikmat menghanyutkan. Bahkan katanya, rasanya ia ingin segera merasakan bagaimana rasanya penis yang masuk ke vaginanya.

“Penis Ayah lumayan besar untuk ukuran vaginaku saat itu. Sejak Ayah memperlihatkan kemaluannya yang besar panjang dan keras, aku sudah berpikir, bagaimana mungkin penis itu bisa masuk ke lobang Vaginaku yang masih sangat sempit.” demikian Lia menggambarkan keadaan sebelum ia melakukan hubungan senggama yang sebenarnya. Pada saat itu, ia juga terkejut, karena penis yang pernah dilihatnya hanyalah milik Dana, adiknya. ukurannya hanya seperti Ibu jarinya saja. Tetapi saat melihat penis milik Ayahnya, apalagi saat ia mengetahui penis itu adalah teman vagina. Lia memahami permainan jari Ayahnya adalah untuk mempersiapkan vaginanya untuk sesuatu yang lebih besar.

“Sekitar seminggu Ayah melakukan permainan jari saja di vaginaku. meskipun hanya dengan begitu, aku bisa mencapai kepuasan, tetapi sejujurnya saat itu aku ingin sekali merasakan penis Ayah yang masuk”. Demikian ungkapan Lia kecil yang yang masih bodoh dengan segenap rasa penasarannya. Selanjutnya Lia menceritakan padaku tentang saat pertama kali vaginanya dimasuki penis Ayahnya.

Kata Lia, malam itu Ayahnya tidak lagi memainkan jarinya di vagina Lia, tetapi ia direbahkan di sisi tempat tidur kemudian Ayahnya menjilati vagina Lia dan sesekali memasukkan lidahnya ke lobang vagina Lia. Menurut Lia, saat itu ia kembali menemukan kenikmatan yang lebih dari sebelumnya. Permainan lidah di vagina benar-benar membuat Lia membuat vagina Lia basah –bukan semata karena air liur Ayahnya, tetapi memang karena dinding vaginanya mengeluarkan cairan sendiri.

Pada saat Lia mulai menemukan kenikmatannya, Ayahnya berdiri di sisi tempat tidur dan mengacungkan penisnya yang telah berdiri tegak ke lobang vagina Lia. Lia membentangkan kedua kakinya berusaha membuka lebar vaginanya, agar penis besar itu bisa masuk ke lobang vaginanya yang masih perawan.

“Sayang! Jika Lia merasa sakit, tahan saja dulu ya! Karena sakitnya hanya sebentar saja.”

“Ya Ayah!” Demikianlah kata terakhir dari mulut Lia sebelum akhirnya penis Ayahnya menjejal masuk ke lobang vagina Lia yang kecil. Benar saja! Vagina Lia seakan dipaksa menganga saat kepala penis Ayahnya mulai masuk ke lobang vaginanya. Perasaan sakit itu memang ada, tetapi bukan seperti sakitnya terluka. Sakit yang Lia rasakan adalah sakit karena harus menerima sesuatu yang besar masuk ke vaginanya.

Ayahnya memang tidak terlalu terburu menenggelamkan penisnya ke lobang vagina Lia. Ia sepertinya mengerti bahwa vagina Lia memang bukan musuh untuk penisnya. Tarik sorong terus dilakukan Ayahnya di vagina Lia, hingga akhirnya penis itu berhasil memperawani Lia, anaknya kandung sendiri di usianya yang baru 10 tahun.

Selanjutnya dengan perlahan, penis yang telah tenggelam penuh di vagina Lia itu ditariknya keluar hingga hanya tinggal kepala penis yang masih berada di dalam, kemudian dimasukkannya kembali sampai pangkal. Semakin lama permainan penis di vagina Lia yang dilakukan di sisi tempat tidur itu berjalan semakin cepat. Lia pun tidak lagi merasakan sakit setelah permainan penis itu berlangsung beberapa saat. Lia merasakan kenikmatan yang luar biasa di setiap gesekan penis Ayahnya di dinding lobang vaginanya, hingga akhirnya Ayahnya mencabut penisnya dan menyemprotkan sperma ke perut Lia.

Kesan pertama begitu menggoda… begitulah yang Lia rasakan dengan permainan seks Ayahnya. Sehingga pada malam-malam berikutnya, Lia lah yang meminta melakukan hubungan itu. Berbagai macam gaya, akhirnya mereka coba. Terkadang Lia di atas, duduk di atas penis Ayahnya. Kadang Lia di bawah menerima hantaman dari penis Ayahnya yang besar panjang dan keras.

Kejaidan itu terus berlangsung, karena kebodohan Lia yang saat itu mengerti belum mengerti arti hubungan intim. Menurutnya itu adalah salah satu usahanya untuk bisa menjadi seperti Ibunya sepenuhnya. Sampai akhirnya, ia menyadari bahwa hubungan intim yang biasa dilakukannya dengan Ayahnya adalah sesuatu yang tidak normal.

Lia menyadari ini saat ia duduk di bangku kelas 1 SMP, dari berbagai kasus serupa yang dilihatnya di TV. Dalam beberapa kasus yang dilihatnya, sang Ayah ditangkap karena dianggap melakukan pencabulan pada anaknya. Namun demikian, Lia masih tidak berani menanyakan hubungan rahasia yang telah dilakukannya dengan Ayahnya selama beberapa tahun ini. Di sisi lain lain, ada  saatnya ia merasakan dorongan birahi dari dalam dirinya yang membuatnya ingin melakukan hubungan itu. Hingga akhirnya, Lia pasrah dengan rahasia hubungan yang tidak normal antara ia dan Ayahnya terus berlangsung hingga saat ia menceritakan kisah ini padaku.

Lia berharap aku bisa menggantikan Ayahnya, bukan dalam arti menggantikan fungsi sebagai orang tuanya, melainkan sebagai seseorang yang dianggap normal untuk melakukan hubungan intim seperti yang biasa dilakukannya dengan Ayahnya. Bagaimana hubunganku dengan Lia saat ini, mungkin bisa dikatakan teman dekat, tetapi kami tidak memegang konsekuensi apa-apa. Kami hanya menikamati seks sebagai sebuah dorongan hasrat, tetapi bukan karena Cinta…

Maafkan aku, Lia..!!
By: Indra

Tak Pernah Terbayangkan…

Dikirim Oleh: Neneng di Bandung

Saat aku sedang sendiri di kamarku ditemani laptop yang dibelikan suamiku, aku mencoba iseng nanya-nanya sama Om Gogel tentang MP, eh ternyata aku menemukan blog ini. Salah satu artikel yang ada di blog ini berjudul MP (Malam Pertama). Coba-coba membuka karena memang aku pingin membaca cerita tentang MP, tetapi sayang….. 😦 disana hanya tertulis gambaran umum tentang MP saja, nggak ada cerita apa-apa. Akhirnya aku mencoba masuk ke menu Home. pada halaman ini akhirnya tahu bahwa blog Wild Life Imagination ini adalah blog yang menaungi ekspresi terpendam yang mungkin ada dalam benak pembaca. Karena belum ada posting yang diterbitkan, aku jadi kepingin menulis pengalaman MPku dan mengirimnya ke e-mail yang tertera di halaman awal blog ini. Berharap ceritanya bagus dan bisa diterbitkan.

Cerita yang ku tulis ini bukan semata imajinasi liar, tetapi ini sebuah gambaran perasaan saat malam pertamaku bersama suamiku sekarang. Kejadiannya sekitar 2 tahun yang lalu, tepatnya pada bulan Desember 2009. Saat ini aku telah memiliki sorang bayi yang sangat lucu berusia 1 tahun 2 buan. Maaf jika aku terlalu banyak bicara, aku hanya sekedar memberikan gambaran keadaanku saat itu dan sekarang. 😀 😀 Ya sudah lah! ku pikir sudah cukup berbasa basi. Mungkin saatnya aku memulai cerita Malam Pertamaku…..

Wild Life Imagination
TAK PERNAH TERBAYANGKAN

 

Aku tinggal di sebuah desa di kecamatan Gununghalu Kabupaten Bandung Barat. Lelaki yang melamarku –yang sekarang jadi suamiku– juga adalah seorang warga desa tempatku tinggal, tetapi sejak lulus SMA, ia kuliah ke UIN syarif hidayatullah Jakarta, dan akhirnya ia menetap di Jakarta karena kebetulan ia diterima bekerja di salah satu penerbitan di Jakarta. Ia memang jarang pulang ke Bandung, sehingga kami jarang bertemu. paling pas lebaran haji ia pulang kampung menengok orang tua dan saudara-saudaranya di kampung.

Saat selepas lebaran itulah, tiba-tiba aku dikejutkan dengan kedatangan orang tuanya ke rumahku yang ternyata untuk melamarku. Aku tidak begitu saja menerima lamaran itu, karena ada kekhawatiran hubungan yang tidak begitu dekat menyebabkan lembaga perkawinanku tidak bertahan lama. Namun saat aku mencoba menjalin hubungan lebih dekat dengannya, perasaan suka itu tumbuh sendiri dalam hatiku, sehingga aku mempersilahkannya untuk melakukan lamaran ulang untuk mempersuntingku.

Singkat cerita, Acara perkawinan kamipun dilangsungkan seperti pada umumnya perayaan di kampungku. dari persiapan hingga acara resepsinya semua terjadi seperti pada umumnya upacara perkawinan di sini. Bedanya, hari itu akulah yang jadi pengantennya. duduk di pelaminan sebagai Ratu, mendampingi Rajaku menerima para tamu yang tak henti berdatangan dan mengucapkan selamat dan doa restu untuk perkawinan kami…..

Saat yang paling ditunggu-tunggu oleh pasangan penganten baru adalah saat dimana para tamu telah pulang, saat bulan mulai menampakkan sinarnya, saat aku dan suamiku telah boleh bersama dalam satu peraduan ranjang penganten dalam kamarku yang masih berhias indah di setiap sisi-sisinya. Perasaan takut, bahagia, malu, haru, cemas, dan banyak perasaan lain bercampur aduk dalam hatiku. Jantungku sepertinya tidak bisa berdetang secara normal. Berkali-kali aku tarik nafas panjang, tetapi tetap tidak bisa menentramkan kecamuk perasaan dalam hatiku. Seperti inikah perasaan malam pertama? terbesit tanya di benakku….

Saat suamiku membimbing tanganku masuk ke kamar peraduan kami, jantungku rasanya mau lepas saja. Belum lagi saat aku melirik senyum di bibir Ibu dan saudara-saudaraku, perasaan malu tak bisa ku sembunyikan dari wajahku, sepertinya merekapun telah menebak apa yang akan terjadi malam itu di kamar pengantinku. Tetapi di sisi lain aku berpikir, ini memang harus terjadi, dan apa yang akan terjadi selanjutnya tidak ada dalam skenario. Huuh…. menebak apa yang akan terjadi di malam pengantinku, membuatku tak tenang saat berdua dengan Rajaku di kamar ini.

Rasa malu untuk meceritakan kejadian di Malam Pertamaku sebenarnya ada, saat aku mulai masuk ke session ini, 🙂 tetapi inilah yang inti dari malam pertama. Mau tidak mau aku harus menceritakannya. Setiap detail kejadian di malam itu masih ku ingat dengan jelas. Malam itu mungkin bukan malam terbaik bagiku, tetapi malam itu adalah malam bersejarah dalam hidupku, di mana aku akan menyerahkan mahkota keperawananku kepada seseorang yang memang berhak untuk mendapatkannya. Dialah suamiku tercinta, tumpuan jiwa dan hati untuk seumur hidupku.

Saat pintu kamarku tertutup, Suami menarik tanganku untuk melangkah ke ranjang penganten kami yang berhias indah di sekelilingnya. Ia mendudukkanku di sisi ranjang dan melangkah kembali ke arah pintu dan dengan hati-hati ia menguncinya. Terlihat sangat pelan, tetapi ceklak!! suara kunci pintu itu terasa masih begitu nyaring terdengar olehku. Seolah-olah, seluruh isi dunia mendengar bunyi itu. Aku berusaha menepis perasaan takut dan malu itu jauh-jauh dari paras wajahku. Ku lihat sebersit senyum menghias bibir suamiku sesaat setelah ia memastikan keamanan ruangan peraduan kami. Akupun tak bisa membiarkan senyum itu terlempar begitu saja. kucoba untuk menarik sisi-sisi bibirku untuk menampakkan senyum di bibirku di antara kecamuk perasaan di hatiku.

Suamiku sepertinya sangat mengerti dengan semua kegelisahan perasaan dalam hatiku, sehingga dengan cepat kedua jemarinya meraih tubuhku seraya menggelitik pinggangku. Tak sengaja saja tawa lepas dari bibirku, sehingga saat itu juga, ia meletakkan jarinya di bibirku. Tersadar dari ketidak sadaran itu, aku langsung terdiam. Dia mengangkat jarinya dari bibirku, dan wajahnya bergerak perlahan ke wajahku. Huuh…!! Deg-degan benar rasanya jantungku. Tak mampu ku tatap matanya yang menusuk begitu dalam ke mataku. ku pejamkan mataku sehingga tidak lagi ku ketahui sudah seberapa dekat wajahnya ke wajahku.

“Tik! tok! tik! tok!….” Detak jam dinding mengalun rapi, seolah berusaha merapikan susunan detak jantungku yang sungguh tak teratur. Ku rasa sudah begitu lama ku pejamkan mataku, tetapi belum ku rasakan ada sentuhan apapun di wajahku, bahkan untuk sekedar hembusan nafasnya pun belum ku rasa. Akhirnya, rasa penasaranku membuatku membuka kembali mataku, untuk sekedar mengetahui apa yang sedang dia lakukan.

Wajahnya yang tadinya ku lihat semakin mendekati wajahku, entah dia ingin mencium bibirku atau sekedar mengecuk keningku, ternyata masih menatap mataku tajam pada jarak terakhir yang ku lihat sebelum aku menutup mataku. Terirat senyum di bibirnya yang membuat keningku berkerut, “Ada apa?” tanyaku padanya.

“Malam ini….” sebuah kalimat tidak lengkap keluar dari bibirnya. Aku menunggu kalimat selanjutnya dengan mengangkat keningku dan melempar senyum kecil kepadanya.

“Malam ini… aku tidak akan menyentuhmu…” Demikian kalimat pertama yang keluar dari mulutnya di malam pertamaku. Jelas saja, kalimat itu membuat keningku kembali berkerut, seiring lahirnya tanya dalam benakku, “Apa ada yang salah denganku?” Setelah melepaskan ekspresi tanya diwajahku, aku menarik nafas sedalam-dalamnya dan menghembuskannya perlahan. Dengan sedikit mengubah posisi dudukku, aku memberanikan diri untuk mengungkapkan pertanyaan dalam benakku.

“Kenapa..!? Apa ada yang salah denganku malam ini..!?” ungkapku dengan suara yang ku tata selembut mungkin. Dia tetap pada posisinya dengan mata yang tetap menatap tajam kedua bola mataku. Kembali tersirat senyum di bibirnya sambil sedikit menggelengkan kepalanya, ia kembali berkata padaku dengan begitu lembut…

“Tidak ada yang salah dengan istriku malam ini….” katanya.

“Terus?” tanyaku berusaha mencari jawaban atas sikap dinginnya di malam yang begitu dinantikan oleh sepasang penganten baru seperti kami. Dengan kembali menatap begitu dalam di mataku, seolah ingin melihat isi hatiku, sesaat ia terdiam, dan beberapa saat kemudian ia berkata lagi.

“Aku hanya tidak ingin menyentuhmu, sebelum aku mendengar satu kalimat dari bibir manismu ini.” Katanya sambil menyentuhkan ujung jari telunjukknya ke bibirku.

“Kalimat apa yang ingin kau dengar dariku?”

“Ucapkanlah bahwa kau mencintaiku dengan kalimat yang tulus dari hatimu…” Setelah ia mengucapkan permintaannya itu, ia menjauh dari wajahku dan berdiri di hadapanku yang masih duduk di sisi ranjang penganten kami itu. Jika sejak tadi dialah yang menatap mataku dalam, mendengar ucapannya itu, benar-benar membalik keadaan. Kini aku yang entah kenapa menatap matanya dengan begitu dalam. Yaah! ku sadari bahwa ia adalah pria yang begitu mengerti suasana hatiku. Mungkin dengan perasaan hati yang bercampur gugup, takut, bahagia, malu dan sebagainya, malam pertama kami tidak akan terasa indah. Setelah menatapnya dalam, akhirnya aku bisa tersenyum. Seketika itu juga aku berdiri di hadapannya dan melingkarkan kedua belah tanganku di lehernya. Tanpa melepaskan senyumku padanya, ku katakan padanya:

“Sayang! aku… mencintaimu….!! Aku mencintaimu setulus hatiku…!!” Huuuh..!! ya ampun…. mengapa begitu mudahnya aku mengatakan kalimat itu padanya? Dia benar-benar membuatku kehilangan rasa malu dan gugup yang begitu memuncak saat berdua dengannya di kamar ini. Tanpa sadar ku peluk tubuhnya dan ku sandarkan kepalaku di dadanya. ku rasakan kedua tangannya telah berada di punggungku mendekap erat tubuhku. Ada perasaan yang begitu damai dan tenang yang tidak pernah ku rasakan seumur hidupku saat kami saling berpelukan malam itu.

Perlahan ku rasakan ia mulai menggerakkan kepalanya dan sedikit terkejut ku rasa saat bibirnya menyentuh bagian kanan leherku. seluruh tubuhku seperti bergetar, merinding merasakan sentuhan yang baru pertama kali itu ku rasakan. Rasanya ingin ku lepaskan pelukanku saat itu saking terkejutnya, tetapi saat itu juga ku sadari bahwa ia adalah suami. ia berhak atas seluruh jiwa dan ragaku. Dengan berusaha menahan rasa takut dan gugup  saat merasakan sentuhan itu, ku putuskan untuk memeluknya lebih erat. Aku mulai berpikir, inilah  saat-saat menjelang suasana malam pertamaku.

“Uuuh…!” kata-kata semacam itu sepertinya ada diujung lidahku, tetapi masih ku tahan dalam hati, saat ia terus memainkan bibirnya di leherku dan semakin lama gerakannya semakin mengarah ke kupingku. Ingin ku gigit saja rasanya bibirku saat aku masih berusaha menahan untuk tidak mengeluarkan rintihan dari di bibirku. Namun “Aaaah….!” sebuah rintihan yang bersamaan dengan hembusan nafasku akhirnya tidak bisa lagi aku tahan, saat ia mulai memainkan lidahnya di telingaku. Mendengar suaraku itu, melepaskan pelukannya dan melangkah menuju tubuhku. Posisiku yang masih berada di sisi ranjang pengantin membuatku tidak bisa mundur lagi, akhirnya tubuhnya jatuh ke ranjang penganten. Bersamaan dengan itu, suamiku juga menjatuhkan tubuhnya di atas tubuhku. Dalam posisi kaki terjuntai seperti ini, aku tidak bisa bergerak apa-apa.

Dalam posisi yang tertindih seperti ini, suamiku begitu mudah untuk melakukan apa saja padaku. Tetapi dapat ku lihat bahwa ia bukan orang yang terburu-buru menyelesaikan malam pertama kami itu. Ia kembali menatap mataku, dan sesaat kemudian ia mencium keningku. Dengan menepiskan sedikit senyum di bibirnya, ia berbisik padaku….

“Aku mencintaimu, Sayang.!” Mendengar ucapannya itu, aku hanya tersenyum kecil. Tetapi senyumku tidak bertahan lama, karena bibirku dikejutkan sebuah kecupan yang begitu tiba-tiba, sehingga aku benar-benar tidak siam menerimanya. Melihat gelagatku, ia melepaskan ciumannya dari bibirku, lalu berkata:

“Sayang! Pejamkan saja matamu…..” Sambil menarik nafas panjang dan mengeluarkannya kembali, ku pejamkan mataku. Tak berapa lama, bibirnya kembali menyentuh bibirku. Semakin lama, bukan hanya sentuhan ayng ku rasakan, tetapi ia telah melumat-lumat bibirku. Aku benar-benar gugup karena memang semua yang akan terjadi di malam pertama itu benar-benar tanpa skenario. Akhirnya aku berpikir, malam ini tidak akan indah jika aku terus memikirkan apa yang akan dilakukannya padaku. Ku putuskan untuk menulis sendiri skenario malam pertama sambil langsung memerankannya.

Keputusan itu membuatku lebih berani menghadapi malam pertamaku. Dengan menarik napas panjang, kembali ku lingkarkan kedua belah tanganku di leher suamiku, dan membalas semua yang dilakukannya di bibirku, ku lumat juga bibirnya sebagaimana ia melakukannya padaku. Semakin lama, ciuman ini bukan hanya saling melumat bibir. Suamiku mulai memainkan lidahnya, dan tanpa harus kembali berpikir, aku pun menyambut permainannya.

Ada hal baru yang ku rasakan dan ingin ku sampaikan dalam kisah ini, bahwa semakin lama ciuman itu semakin membuat hangat suasana kamar penganten. Saling membalas ciuman itu justru memberikan tanda bahwa kami berdua telah siap melakukan hal yang lebih dalam. Tanpa khawatir aku akan marah padanya, suamiku mulai meremas-remas payudaraku yang masih padat menjulang. Setiap awal memasuki permainan yang lebih dalam, keterkejutan selalu menggangguku, tetapi perasaan itu secepat mungkin ku buang jauh, karena malam ini seluruh tubuhku adalah milik suamiku. Aku tak ingin kebingunganku mengganggu hasrat bercintanya.

Pada saat ia meremas-remas buah dadaku, awalnya tak terasa apapun selain rasa terkejut. Namun setelah keterkejutan itu hilang, justru aku merasakan hal yang tidak pernah ku rasakan seumur hidupku. setiap remasan di payudaraku, seolah mengatur desir darahku. Desah nafasku pun seolah mengikuti setiap remasan jemarinya di payudaraku. Tidak ada yang bisa ku katakan untuk mengungkapkan perasaanku saat itu selain, “Uuuuh… nikmat sekali.”

Saat aku mulai merasakan indahnya tiap remasan di payudaraku. Kembali suamiku mengejutkanku dengan permainan selanjutnya. Ia mulai melepaskan kancing bajuku satu persatu, hingga dadaku terbuka di hadapannya. Selanjutnya ia memintaku untuk melepaskan ikatan BH yang masih menutup payudaraku. Sesaat setelah kaitan BH terlepas, saat itu juga puting payudaraku disambut oleh bibirnya. Ya ampuun… suamiku benar-benar menikmati setiap bagian tubuhku. Aku tak bisa membiarkan ia menikmatinya sendiri. Aku berusaha merasakan setiap sentuhan di sekujur tubuhku.

Suara yang keluar dari Desah nafasku, seperti semakin nyaring saja…. Suamiku benar-benar pandai menikmati tubuhku sekaligus menyajikan kenikmatan itu untukku. Seluruh tubuh bergetar, merasakan setiap sentuhan tangan dan bibirnya di payudaraku. Seluruh tubuhku dibuatnya merinding setiap saat, sehingga aku berpikir, “inikah kenikmatan malam pertama yang sering dibicarakan orang dalam bahasa yang penuh tanya..!?” Pertanyaan itu langsung ku bantah dengan jawaban “Belum..!!” karena ia belum menyentuh bagian paling tersembunyi dari tubuhku. Aku berpikir, kenikmatan macam apa lagi yang akan ku rasakan diakhir permainan nantinya.?

Basah sudah kedua payudaraku oleh air liur suamiku yang sejak tadi memainkan mulutnya di payudaraku. Sambil terus mencium, menjilat dan mengenyot payudaraku, ku rasakan sekarang tangannya mulai masuk menyusup ke celana dalamku, hingga ku rasakan jemarinya telah berada di atas permukaan belahan vaginaku. Ya ampuuun… Aku benar-benar merinding dibuatnya. Belum selesai payudaraku dinikmati, sekarang jari-jarinya telah menyentuh belahan vaginaku. Jari-jari itu mulai bergerak naik turun di belahan vaginaku. Nikmat sekali rasanya setiap sentuhan lembut yang dilakukannya di daerah paling rahasia.

Sejujurnya ingin sekali ku lepaskan seluruh pakaian yang menutup tubuhku saat jemarinya mulai bergerak di belahan vaginaku, tetapi keinginanku itu sulit untuk ku ungkapkan. Biarlah suamiku yang menjalankan permainan ini sesuai dengan cara yang dia inginkan. Kenikmatan demi kenikmatan yang tidak pernah ku rasakan sebelumnya terus membelai perasaanku di malam pertamaku itu. Aku hanya bisa terus mendesah dan dan tak mampu lagi tuk membuka mataku walau hanya sekedar untuk melihat apa yang dilakukannya padaku. Benar kata orang, Kenikmatan memang tidak bisa dilihat, tetapi dirasakan.

Jari tengah suamiku terus saja menyentuh permukaan belahan vaginaku yang terasa semakin basah. Mengapa ia tidak mencoba memasukkan jarinya ke belahan vaginaku. Padahal aku sangat menginginkan sebuah sentuhan di lobang vaginaku ini. Dia benar-benar telah membangkitkan hasrat birahi di jiwaku, sampai akhirnya ia menarik tangannya dari dalam celanaku dan menghentikan ciumannya di payudaraku. Apa yang akan dilakukannya selanjutnya? Pertanyaan yang ada di hatiku itu memaksaku untuk kembali membuka mataku.

“Sayang! Bolehkkah ku lepaskan seluruh pakaianmu?” demikian suara suamiku memalui bibirnya yang begitu dekat dengan wajahku. Harapan yang tak bisa ku ungkapkan sepertinya akan jadi nyata. Ia sepertinya mampu benar membawaku dalam kecamuk harapan dan menjadikannya nyata dalam sesaat. Hanya dengan isyarat “angguk dan senyuman”, ia akhirnya tidak menunggu jawaban dari bibirku. Satu persatu kancing bajuku dilepaskannya, hingga akhirnya aku terbaring di ranjang pengantinku tanpa sehelai benang pun menutupi tubuhku. Dalam keadaan tubuhku yang telah telanjang, aku dipaksa melihat pemandangan baru di saat suamiku melepaskan pakaiannya satu persatu di depan mataku. Ingin rasanya ku alihkan pandanganku, tetapi matanya tak pernah berhenti memandang mataku. Harus ku nikmati malamku dengan memandang satu persatu pakaian lepas dari tubuhnya, hingga aku harus melihat sesuatu yang menjadi lambang keperjakaannya. Bergetar jantungku saat harus melihat

Setelah seluruh pakaiannya terlepas, dia mulai kembali mencium bibirku. Terbesit tanya di hatiku, “Apakah ia akan memulai permainan malam ini dari awal lagi?” Ternyata tidak. Sambil terus mencium bibirku sedikit demi sedikit ia mulai memperbaiki posisi tubuhnya di atas tubuhku, hingga akhirnya ku rasakan sesuatu telah menempel di permukaan belahan vaginaku. “Oh Tuhan..!! Saat-saat paling mendebarkan akan segera ku rasakan sesaat lagi” Begitulah teriak cemas dalam hatiku. Benda itu terus bergerak di belahan vaginaku dengan dibantu oleh tangan kirinya untuk mengarahkan pada lobang vaginaku yang masih belum terjamah, bahkan oleh diriku sendiri.

Aku terpejam menantikan detik-detik dimana aku akan memberikan keperawananku kepada suamiku tercinta. Tetapi ternyata ia tidak buru-buru untuk mengambil keperawanan itu dariku. Ia masih memainkan kepala penisnya mengiringi belahan vaginaku, sepertinya ia sedang mencari sesuatu di vaginaku yang bisa membuatku melayang sekali lagi. Benar saja! saat setengah kepala penisnya membuka belahan vaginaku, saat itulah ia mulai bersentuhan dengan clitoris yang berada di bagian atas lobang vagina. Setiap gerakan bolak balik penisnya di vaginaku, setiap itu juga tubuhku bergetar karena adanya sentuhan di clitoris yang membuat darahku seakan berdesir cepat. Hingga akhirnya, ia menggerakkan penisnya dengan cepat naik turun di belahan vaginaku, yang membuatku tak mampu menahan tubuhku untuk tetap diam merasakan kenikmatan itu. Tubuhku bergetar hebat, darahku berdesir cepat, desah nafasku tak bisa lagi ku atur mengikuti irama detak jantungku. Kemikmatan yang tak pernah terbayangkan telah membuatku tak bisa lagi mengontrol seluruh tubuhku.

Suamiku masih belum terlihat ingin mengambil keperawananku. Ia menghentikan aksinya dengan menggunakan kepala penisnya. kali ini ia mulai menurunkan tubuhnya hingga kepalanya berada di antara kedua pahaku. Apa yang akan dia lakukan lagi kali ini? Ternyata ia melakukan hal yang sebelumnya mungkin ku anggap sangat menjijikkan. Ia menjilati vaginaku yang sudah sangat begitu basah karena besarnya rangsangan yang ku terima. “Ya Ampuuuun… kenikmatan ini… Oh!” Tak tahu bagaimana aku menuliskannya. Yang terbayangkan saat itu, inilah puncak kemikmatan malam pertama. Lidahnya begitu pandai memainkan clitorisku. ku rasakan vaginaku sangat basah dibuatnya. Aku tak bisa menahan hentakan tubuhku saat ia mampu memberikan kenikmatan untuk tubuhku.

Saat aku mulai tak mampu lagi menahan gejolak birahiku, saat itulah ia menghentikan permainan lidahnya di clitorisku. Nafasku terhengal, aku berpikir bahwa permainan telah usai, tetapi ternyata belum. Kembali ia membuatku terkejut dengan gaya permainannya di malam pertamaku ini. Sebelum birahiku menurun, ia kembali menancapkan kepala penisnya di belahan vaginaku, tetapi kali ini ia tidak lagi bermain dengan clitoris, tetapi mengarahkannya pada lobang yang ada di bawahnya. Kata orang, saat robeknya selaput dara keperawanan akan terasa sakit. Hal itu cukup menakutkanku saat kepala penisnya mulai memaksa masuk ke lobang senggama di vaginaku. Ku rasakan memang terasa sesak sekali saat penis suamiku mulai memaksa masuk ke vaginaku, tetapi sakit yang bersangatan tidak ku rasakan. Perlahan batang penis suamiku menerobos masuk ke lobang senggamaku, masuk sedikit, kemudian ditariknya lagi, masuk lagi lebih dalam ditariknya lagi keluar, begitu seterusnya hingga akhirnya penisnya seakan tenggelam penuh di vaginaku dan terasa begitu sesak di lobang vaginaku yang masih perawan. Tidak terasa sakit seperti yang sering dibicarakan orang. Ku pikir mungkin karena vaginaku yang sudah begitu basah, atau mungkin karena aku masih berada pada suasana birahi yang memuncak, atau mungkin juga karena permainan suamiku yang begitu pandai merangsang hasratku. Entahlah! Tapi yang jelas, ocehan menakutkan tentang sakitnya pecah perawan tidak ku rasakan di malam pertamaku.

Saat penisnya yang besar dan begitu keras tenggelam penuh di vaginaku, ia tidak buru-buru memainkannya. Ia menahan penisnya berada pada posisi terdalam di lobang vaginaku. Sesaat kemudian, ia menarik perlahan penisnya hingga hanya tinggal kepala penisnya yang berada di lobang vaginaku, kemudian didorongnya kembali masuk dengan sangat perlahan. Semakin lama gerakannya semakin cepat. Ku rasakan setiap gesekan batang penis di dinding lobang vaginaku mampu membuat darahku seolah mengalir ke vagina. Semakin cepat gesekan itu, semakin membuatku tak bisa mengontrol tubuhku. Desahan demi desahan terus keluar dari bibirku mengiringi irama gerakan penisnya. Tubuhku bergetar setiap kali batang penis suamiku bergesekan dengan dinding vaginaku.

Batang penis suamiku terasa sangat sesak di lobang vaginaku, sehingga saat ia menerobos masuk ke posisi terdalam vaginaku, lobang kecil vaginaku terasa merekah lebar. Entah apa yang dirasakan suamiku dengan sempitnya lobang vaginaku. Harapanku, ia juga merasakan kenikmatan yang sama denganku di setiap gesekan itu. Di saat aku sedang berada puncak kenikmatan yang tak tertahankan, ku rasakan lobang vaginaku kembali begitu basah. Decak suara di vaginaku meakan mewakili setiap kenikmatan yang ku rasakan. Kapan suamiku akan menghentikan permainannya? Apakah ia tidak lelah? Demikian tanya di benakku, di saat aku tak mampu lagi menahan besarnya kenikmatan yang ku rasakan saat itu.

Tiba-tiba di beberapa kocokan terakhir, suamiku menghentakkan penisnya sedalam mungkin ke lobang vaginaku. Hingga akhirnya ia berhenti dengan penis tenggelam penuh di lobang vaginaku. Ku rasakan denyut-denyut kecil pada batang penis suamiku yang menyesakkan vaginaku. Ku rasakan pula sesuatu yang begitu hangat mengisi lobang vaginaku. Pikirku, mungkin itulah sperma yang memancar dari ujung penis suamiku, sebagai tanda bahwa ia juga telah mencapai puncak kenikmatan dalam hubungan perdana di malam pertama kami ini.

Benar saja… dalam posisi batang penis yang masih tenggelam penuh di lobang vaginaku, ia berusaha mengatur kembali nafasnya yang terhengal-hengal kelelahan. Akupun harus bisa memahami bahwa inilah akhir dari permainan ini. Sperma yang telah tertanam di rahimku berusaha untuk tetap ada dan menjadi buah cinta antara aku dan suamiku. Saat suamiku mencabut penisnya keluar dari lobang vaginaku, aku mengambil bantal guling di samping dan meletakkannya di bawah pantatku, berharap sperma itu mau membuahi sel telur yang telah lama menantinya di dinding rahimku.

Suamiku terkulai lemah di sampingku sambil terus menata irama nafasnya. Ku tatap wajahnya yang kelelahan dan berusaha melempar senyum bahagia saat ia juga menatapku. Dia pun tersenyum puas saat menatapku, dan memeluk tubuhku serasa membisikkan satu kalimat indah di telingaku.

“Istriku luar biasa…!!” bisiknya

“Suamiku juga…”

Malam pertamaku tidak berakhir di situ saja. Beberapa saat setelah permainan pertama itu, kami kembali mencari kenikmatan dalam permainan cinta yang lain. Tak terasa fajar telah menampakkan sinarnya di ufuk timur, pertanda malam pertama akan segera berlalu. Kokok Ayam dikejauhan menjadi tanda bahwa kami harus mengakhiri malam ini dengan satu permainan lagi.  Sungguh malam pertamaku adalah kenikmatan yang tak pernah terbayangkan seumur hidupku…

 

_______________________

Wild Life Imagination: Terima kasih atas kiriman Neneng di Bandung. ditunggu imaginasi anda lainnya.

MP (Malam Pertama)

MP atau “Malam Pertama” adalah sebuah istilah yang sangat sakral bagi sebagian orang yang masih menjaga nilai-nilai sosial dan keperawanan. Malam Pertama adalah saat di mana ia akan melepaskan mahkota keperawanan yang hanya akan diberikannya kepada pasangan sahnya. Kisah-kisah dibawah ini menggambarkan keadaan dimana sepasang penganten baru dengan kehidupan seksual yang baru pertama kali dilakukan dan dirasakan seumur hidupnya.

*******************

Kisah MP (Malam Pertama):